Jika kita melontara’ atau mengisahkan sejarah perjuangan orang Bugis dalam melawan penjajah Belanda, ada satu jagoan di antara ribuan tokoh pejuang yang namanya melegenda. Jagoan ini merupakan raja di zamanya, Arung Palakka Raja Bone ke-15.
Bagi sebagian masyarakat Bugis, nama Arung Palakka merupakan pengeran dan pejuang kemerdekaan yang namanya masih tetap harum sampai saat. Namun demikian, bagi sebagian orang lagi, menganggap tindakan Arung Palakka bekerja sama dengan Belanda (VOC) dan meruntuhkan kerajaan Sultan Hasanuddin merupakan sejarah kelam.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat menggebu-gebu untuk penaklukan. Dia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung lantaran perbendaan pendangan dengan Raja Gowa. Namun, dia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia setelah meninggalkan kota kelahirannya di Bone.
Arung Palakka konon ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaannya seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya.
Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika dia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Sebelum ke Tanah Jawa Batavia (Jakarta sekarang) mungkin tak banyak yang tahu kalau Pulau Buton (kadang disebut Butung), pernah menjadi tempat pelarian Arung Palakka dari kejaran pasukan Sultan Hasanudin. Pelajaran sejarah yang pernah singgah tatkala kecil dulu paling hanya menjabarkan kalau Sang Pangeran berambut panjang ini hanyalah seorang pengkhianat.
Tidak bagi sebagian masyarakat Bone dan Buton, Arung Palaka bukanlah sosok jahat, seperti didiskreditkan sekarang ini. Alkisah masyarakat Bone dan Buton, sekitar tahun 1660, Bone dan Gowa bertikai. Arung Palakka sebagai salah seorang pemimpin Bone tidak bisa menerima perlakuan para bangsawan Gowa yang menindas rakyatnya.
Perlakuan kerja paksa untuk membangun benteng di perkebunan daerah Makassar jelas membuat rasa siri (harga diri) masyarakat Bone termasuk Arung Palakka tercabik-cabik, apalagi setelah para bangsawan Bone juga dipaksa ikut kerja paksa tersebut.
Akhirnya bersama Tobala, pemimpin Bone yang ditunjuk oleh Gowa, Arung Palkka melakukan perlawanan dengan melarikan orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut. Sebenarnya para prajurit Gowa hanya mencari Tobala karena dianggap tidak mampu mengawasi budak dari Bone.
Hanya saja Arung Palakka yang merasa tidak memiliki tempat lagi di bumi yang disebut Belanda Celebes itu memutuskan pergi untuk mencari tempat semedi dan merenung demi mengembalikan siri mereka. Sebelum ke Pulau Jawa, terlebih dahulu Arung Palakka ke Buton untuk mencari startegi. Raja Buton ke-10 yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih dikenal bergelar Sultan Aidul Rahiem.
Pada saat pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga ke Buton. Sultan Buton bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas pulau mereka. ”Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini ditutupi oleh air,” ucap Sultan Buton, yang diucapkan kembali oleh salah seorang penerusnya.
Ternyata sumpah tersebut dianggap sah karena pada kenyataannya Pulau Buton memang tidak pernah tenggelam hingga saat ini. Gua Liana La To Undu adalah bukti sejarah sejarah yang dijadikan sebagai salah satu objek wisata sejarah di sana, merupakan tempat Arung Palakka merenung untuk mengatur startegi perangnya.
Sistem batuan di daerah Buton bisa jadi merupakan salah satu alasan yang jelas mengenai hal ini. Daerah batuan berkarang dengan ceruk-ceruk kecil di sepanjang bukitnya, menggambarkan kebenaran sejarah tersebut. Pernyataan Sultan Buton pada saat menyembunyikan Arung Palakka dianggap benar.
Mereka tidak menyembunyikan Arung Palakka di atas dataran tanah mereka. Namun di antara ceruk-ceruk sekitar pantai yang menurut pendapat orang Buton bukanlah sebuah dataran, melainkan gua, yang berada di dalam tanah.
Kepintaran bersilat lidah Sultan Buton inilah yang akhirnya Arung Palakka lolos dari pengejaran dan pencarian pasukan Gowa. Hal ini juga dibenarkan oleh pemuka adat setempat yang bernama La Ode Hafi’i. Dia menjelaskan bahwa antara Kesultanan Buton dan Bone sejak dahulu memang telah terikat dalam perjanjian sebagai saudara.
”Bone raja di darat, Buton raja di laut,” ucapnya. Hal itu juga yang mendasari mengapa Sultan Buton memutuskan membantu Arung Palakka dan turut membiayai Arung Palakka bersama 400 lebih pengikutnya menuju Batavia.
Patung Sang ayam jantan dari Timur, Sang Pembebas dengan gelar pahlawan kemanusiaan Petta Malampee Gemme’na, kini berdiri di tengah kota Watampone Kabupaten Bone yang merupakan bukti sejarah dan menjadi simbol semangat hegemoni pejuang-pejuang Bugis masa lalu.
Sumber : www.telukbone.com