BUDAYA ” MAPPASIKARAWA “DALAM PERNIKAHAN BUGIS
Posted by AndiEwha
Mappasikarawa adalah sebuah proses yang tak terpisahkan dalam sebuah perkawinan dengan cara mempertemukan pengantin pria dan wanita dalam tempat tertentu yang ditindaklanjuti dengan berbagai perilaku (gau – gaukeng khusus) oleh orang-orang tertentu dengan harapan agar pengantin tersebut kelak mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Masyarakat yang memiliki komitmen tradisional pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan atau aturan tetap yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia termasuk kegiatan perkawinan. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras dan kekal.. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia, karena itu setiap apa saja yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Salah satunya adalah tatanan dalam perkawinan yakni kegiatan mappasikarawa.
Prosesi mappasikarawa bagi masyarakat bugis
Bagi masyarakat bugis , kegiatan mappasikarawa ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan perkawinan. Orang yang melakukan kegiatan mappasikarawa ini adalah orang-orang panutan atau pilihan dalam masyarakat orang pilihan dimaksud pappasikarawa.
Adapun proses kegiatan mappasikarawa ini di awali dengan mempelai laki-laki menjemput istrinya. Dalam menjemput tersebut biasanya pintu kamar tertutup rapat dan di jaga oleh orang-orang yang memiliki power (kekuasaan) atau di hormati oleh pihak keluarga mempelai wanita.pintu baru dapat di buka jika pihak mempelai laki laki telah menyerahkan sesuatu sehingga keluarga mempelai wanita setuju untuk membuka pintu kamar. Biasanya pihak mempelai laki-laki menyerahkan sejumlah materi (uang logam, gula-gula dan semacamnya ) yang dihamburkan di depan pintu. Kalau pihak penjaga pintu masih tarik menarik belum berkenan membuka pintu, lalu pihak keluarga mempelai laki-laki menambahkan dengan sejumlah uang kertas. Adapun maksud dari gaukeng ini adalah agar sang suami kelak tidak mudah menguasai dan memperdaya isterinya, karena diperolehnya dengan susah payah.
Setelah mempelai laki-laki masuk ke dalam kamar, selanjutnya didudukkan di samping mempelai wanita untuk mengikuti prosesi mappasikarawa. Terdapat banyak versi tentang bagian anggota tubuh mempelai wanita yang paling baik disentuh pertama kali oleh mempelai laki-laki, tergantung pada niat dari ”pappasikarawa”. Kalau niatnya jelek, maka akan mengarahkan tangan mempelai laki-laki ke bagian tubuh mempelai wanita yang dianggap tidak baik atau tabu untuk disentuh. Misalnya, mengarahkan tangan mempelai laki-laki ke bagian tengah leher paling bawah (edda), dan kepala dahi paling atas perbatasan kepala paling depan (buwu). Menurut kepercayaan sebahagian masyarakat bahwa bagian itu dilarang atau sedapat-dapatnya tidak disentuhkan ke arah bagian itu karena dapat menyebabkan salah satu diantaranya berumur pendek, apakah laki-laki atau perempuannya. Hal tersebut disebabkan karena kedua bagian anggota tubuh tersebut adalah berlubang sebagai simbol kuburan. Untuk itulah maka pihak kedua mempelai memilih orang-orang pintar yang benar-benar dapat dipercaya untuk melakukan ”mappasikarawa” ini, sebab sangat menentukan hidup matinya dan keberlanjutan kehidupan rumah tangga pasangan suami istri yang baru menikah tersebut.
Menurut wa’kuruneng (69 tahun )tokoh agama dan Pappasikarawa di kec.Belawa Pertama yang dilakukan adalah mempertemukan antara ibu jari (jempol) tangan laki-laki dan perempuan saling berhadapan. Kedua, Pappasikarawa memegang kedua ibu jari tersebut kemudian memerintahkan kepada pengantin laki-laki dan pengantin perempuan untuk melemaskan ibu jari masing-masing dan tidak saling menekan. Selanjutnya Pappasikarawa mengambil ibu jari pengantin pria kemudian dilekatkan di sekitar samping kiri kening (dekat telinga kiri) dan kemudian Pappasikarawa membaca ayat Al Qur’an ”Qul Ing Kuntum Tuhibbunallah”. Kemudian, Papapasikarawa menyuruh pengantin pria melanjutkan ayat tersebut dengan membaca ”Pattabiuunii Yuhbib Kumullah”. Dan terakhir, Pappasikarawa menyerahkan kembali pengantin pria dan wanita kepada indo’ botting untuk acara selanjutnya yakni duduk di pelaminan.
Menurut HJ.Mantang (53 tahun), salah seorang tokoh masyarakat yang memahami acara mappasikarawa /appabbattu nikkah di kec.suba opu mengemukakan bahwa mempelai laki-laki dan perempuan sudah berhadap-hadapan di dalam kamar pengantin kemudian pappasikarawa itu
mengambil ibu jari (jenpol) tangan laki-laki dan perempuan di pertemukan (berhadapan)
pappasikarawapappasikarawa memerintahkan kepada laki-laki untuk menusukkan sedikit kuku ibu jarinya pada sela kuku ibu jari perempuan (sekitar 2-3 detik) dengan membaca (pharaouhom, waraehaanom, wa jannatun naim–nasrhun minaallah)
pappasikarawa memerintahkan kepada pengantin wanita untuk melakukan hal yang sama pada calon suaminya dengan waktu (sekitar 2-3 detik)
pappasikarawa membawa tangan pengantin pria memegang pangkal lengan pengantin perempuan (pangkal lengan yang berisi) atau di dada kemudian pappasikarawa menyuruh pengantin pria untuk berdoa dalam hati semoga mendapatkan kemurahan rezeki, kebahagiaan dan keturunan yang baik (sekitar 2-3 menit)
pappasikarawa kemudian menyerahkan pengantin kepada indo bunting untuk kemudian (duduk di pelaminan)
Menurut La Sinring (72 tahun), salah seorang tokoh masyarakat yang memahami dan pelaku acara mappasikarawa di kecamatan Tanasitolo, kabupaten Wajo mengemukakan bahwa dalam prosesi acara mappasikarawa diawali oleh mempelai laki-laki menyentuh bagian tubuh yang baik mempelai wanita yang disesuaikan dengan peruntukannya. Misalnya, jika mempelai perempuan dikawinkan paksa alias bukan kemauannya melainkan hanya kemauan orang tua, dan ada kemungkinan setelah menikah nantinya akan lari atau tidak menyukai suaminya, maka bagian tubuh yang paling baik disentuh mempelai laki-laki adalah bagian bawah daun telinga (teddona) atau hidung mempelai perempuan. ”riteddoi” artinya ditundukkan, dibuat patuh kepada suaminya. Analogi dengan kerbau, jika kerbau diteddo hidungnya, maka apapun yang dilakukan padanya ia akan tetap tunduk dan mengikuti segala perlakukan tuannya. Jika kedua pasangan suami isteri tersebut kelak diharapkan murah rezekinya dan tidak pernah merasakan kesulitan rezeki maka dianjurkan untuk menyentuh pangkal lengan atas (sossorenna).
Adapun bacaan yang dibaca oleh La Sinring sebagai ”pappasikarawa”adalah sebagai berikut :
”Arusu abiona neneta adam rieddu naripattekka maniangsalo nariala katowang ribulena rakkeangnge nariurung katoang siwenni* purana riurung, naritappani nancajina neneta hawa, naribaratemmuina akki neneta adam akki siwennie*”(*kata-kata siwenni (satu malam) dapat diganti dengan kata duampenni (dua malam), tellumpenni (tiga malam) tergantung berapa malam kedua mempelai diharapkan akur (sipoji) dan konsekuensi dari keadaan itu akan terjadilah hubungan suami isteri.
Berdasarkan pengalaman La Sinring terhadap beberapa pasangan pengantin yang telah dipercayakan kepadanya untuk ”ripasikarawa”, menunjukkan bahwa berkat bacaan tersebut telah menyebabkan pasangan pengantin baru tidak bertahan lama-lama atau tidak menunggu dua sampai tiga malam baru menikmati malam pertamanya, melainkan kadang-kadang tamu masih berkumpul dan belum beranjak dari rumah hajatan, namun pengantin wanita kadang-kadang sudah tidak sabaran menantikan suaminya masuk ke kamar pengantin, atau naik ke peraduan.
Kesemua versi pappasikarawa tersebut, meskipun berbeda-beda bacaan dan caranya namun maksud dan tujuannya sama, yaitu agar kedua mempelai mendapatkan kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan hidup dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Sumber : Teluk Bone
Sumber : Teluk Bone