Ketika berhasil menguasai Watampone, Belanda mulai merombak total sistem pemerintahan di kerajaan Bone. Pada tanggal 2 Desember 1905 Persekutuan Tellumpoccoe yang terdiri dari Bone,Wajo,dan Soppeng dibubarkan. Setelah Tellumpoccoe dibubarkan kemudian disatukan dan diganti dengan nama “Afdeling Bone” yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen.
Selanjutnya Apdeling Bone dibagi menjadi lima bagian yang disebut Onder Afdeling yang dikepalai oleh Tuan Petoro. Kemudian setiap Petoro dibagi lagi menjadi Petoro Besar selaku Asisten Residen, Petoro Menengah selaku Kontroler/Pengawas, dan Petoro Kecil yang menjadi bawahan Petoro Menengah.
Ketiga tingkatan kekuasaan itu masing-masing dijabat oleh Belanda. Sedangkan posisi dibawahnya barulah diisi oleh orang pribumi, itupun melalui seleksi yang sangat ketat.
Adapun kelima bagian Afdeling Bone, antara lain :
1. Onder Afdeling Bone Utara, dengan ibukota Pompanua
2. Onder Afdeling Bone Tengah, dengan ibukota Watampone
3. Onder Afdeling Bone Selatan, dengan ibukota Mare
4. Onder Afdeling Wajo, dengan ibukota Sengkang
5. Onder Afdeling Soppeng, dengan ibukota Watangsoppeng.
Simpul pemerintahan dijalankan oleh Belanda, namun setiap kerajaan tetap berjalan sesuai adatnya masing-masing tetapi tidak mempunyai persenjataan perang. Kerajaan Bone dijalankan oleh Ade’ Pitu (Adat Tujuh) karena Karaeng Sigeri yang melawan Belanda diasingkan di Bandung. Di Kerajaan Wajo dijalankan oleh Arung Matowa Wajo karena masih mau bersahabat dengan petinggi Belanda, begitupula kerajaan Soppeng yang bernaung di bawah Afdeling Bone.
Seperti pada tulisan sebelumnya Hegemoni kekuasaan memang tak pernah abadi, ada pergantian antar waktu, ada secara periodik, seperti halnya yang dialami pemerintahan Belanda. Pada akhir tahun 1941 terjadi ketegangan antara otoritas Belanda di Batavia dengan tentara Jepang. Akhirnya pada tanggal 4 Februari 1942 Jepang dan Belanda bertempur di Selat Makassar, Belanda kalah.
Perang itu berujung pada jatuhnya Makassar ke tangan Jepang pada tanggal 10 Februari 1942. Sejak itu, tentara Jepang mulai melakukan ekspansi ke seluruh negeri jajahan Belanda di Sulawesi Selatan termasuk sasaran utamanya adalah Bone.
Negeri hindia Belanda termasuk Indonesia pada masa itu dijuluki negeri kolonial, namun orang Bone tidak mau wilayahnya dijadikan sebagai target perasan imperialis. Terbukti berbagai perlawanan yang ditujukan kepada imprelis Belanda, baik perlawanan itu dilakukan secara halus dan senyap maupun dilakukan secara frontal.
Belanda hengkang kini giliran Jepang ingin menanamkan hegemoninya di tanah Bone. Berdasarkan perjanjian kalijati, Hindia Belanda resmi diberikan kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Hindia Belanda adalah negeri jajahan Belanda sekarang ini disebut Indonesia.
Sejak awal Februari 1942 Jepang telah menduduki makassar, mereka sudah sibuk melakukan ekspansi ke pedalaman Sulawesi Selatan dan sasaran utamanya adalah Bone. Sebuah kenyataan yang tak terelakkan bagi Bone, Jepang datang dengan gaya kedisiplinan yang sangat tinggi, waktu adalah kerja.
Hal utama yang dilakukan Jepang setelah masuk Bone, yaitu mengubah penyebutan istilah pemerintahan hasil bentukan raja Bone maupun Belanda. Mereka mengganti penyebutan posisi pemerintahan dengan bahasanya sendiri, yakni bahasa kanji-Jepang.
Istilah Mangakau diganti dengan nama “Sutyoo”, Adat tujuh diganti dengan “Sutyoo Dairi”, Arung Palili diganti dengan “Guntyoo”, dan Kepala kampung diganti dengan nama “Sontyoo”. Selanjutnya Controleur Petoro diganti menjadi Bungken Kanrikan. Kemudian Asistent Resident diganti dengan nama “Ken kanrikan”. Jepang hanya mengubah penyebutannya dengan bahasanya sendiri, namun kerangka dan sistem dalam menjalankannya tetap apa yang sudah dibentuk oleh Belanda.
Apa yang dirasakan orang Bone? Belanda hengkang dari Bone dengan meninggalkan kekacauan, kini Jepang datang dengan menciptakan bencana kelaparan. Aksi-aksi kriminal menjadi hal yang biasa terjadi pusat-pusat keramaian dan pertokoan di Watampone. Intinya perekonomian ambruk total, dan tidak jelas program apa yang akan dilakukan Jepang, mereka belum berpengalaman dan mengenal orang Bugis Bone.
Salah satunya yang dilakukan Jepang adalah membentuk jejaring kelembagaan yang bermuara pada satu titik kepentingan. Yang penting bagaimana mendapatkan sumber daya untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Mereka berupaya menarik simpati rakyat Bone, kita bersaudara.
Jepang mulai membentuk beberapa organisasi seperti Kumiai (koperasi), Tonarigumi (semacam RT), Seinendan (barisan pemuda), Keibodan (barisan keamanan), Hokokai (himpunan kebaktian rakyat), kemudian yang paling terkenal yaitu PETA (pembela tanah air) yaitu kekuatan militer pribumi tetapi keperluan untuk Jepang.
Sementara itu, Jepang mulai menciptakan suatu kebijakan cukup cerdas yang berlaku diseluruh nusantara, kebijakan itu adalah “Wajib Beras”. Maksudnya, beras wajib masuk ke gudang-gudang Jepang untuk persediaan perbekalan tentara mereka yang sibuk bertempur dengan Amerika. Kebijakan itu jelas petani berontak. Diawal tahun 1943 terjadi pemberontakan para petani di Sulawesi Selatan.
La Mappanyukki selaku raja Bone pada saat itu tidak bisa berbuat banyak. Kerajaannya tidak memiliki kekuatan apapun termasuk teknologi persenjataan sehingga membuatnya serba salah. La Mappanyukki sadar, tidak mungkin bersekutu dengan Jepang dan hanya akan membuang nyawa rakyatnya jika ingin melawan.
Untung saja, seorang pejuang pribumi dari Batavia yang mampir ke Makassar dalam urusan negosiasi untuk membentuk pasukan laut pribumi. Dia adalah Soekarno yang mendatangi raja-raja di Sulawesi Selatan. Kemudian mengumpulkan mereka pada suatu forum rahasia, untuk menjelaskan betapa pentingnya negara kesatuan. Soekarno berupaya menjelaskan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kepada mereka, dan atas kepiawaian soekarno semua raja yang hadir mendukungnya.
Apa hendak dikata, naas bagi Jepang dua kota besarnya hancur berantakan dibom oleh Amerika. Hanya dalam rentang tiga hari. Hirosima dibom tanggal 6 Agustus dan Nagasaki 9 Agustus 1945. Impian Jepang untuk membangun persekutuan Asia Timur Raya pupuslah sudah.
Seluruh pasukan negeri sakura di Indonesia kini menunggu giliran sambil meratapi nasib untuk pulang ke negaranya. Banyak diantara mereka melakukan harakiri, mereka memilih bunuh diri. Tetapi ada juga yang melepas seragam tentaranya dan tidak mau pulang ke kampungnya di Jepang yang sudah berantakan.
Sementara itu, hasil pertemuan rahasia Sukarno dengan raja-raja di Sulawesi Selatan dengan penunjukan tokoh-tokoh yang mewakili Sulawesi Selatan untuk menghadiri pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tokoh-tokoh yang dimaksud antara lain Andi Pangerang Petta Rani, Mr.Zainal Abidin, Dr.Samratulangi, dan La mappanyukki ditunjuk sebagai penasihat.
Seperti kita ketahui pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari paling bersejarah Nusantara. Akhirnya Dr.Samratulangi diangkat menjadi Gubernur Provinsi Sulawesi,namun bukan berati perang berakhir. Di Sulawesi Selatan gejolak revolusi mulai bangkit dan tak terbendung.
Sekutu dan NICA tiba di Makassar tanggal 23 September 1945, dengan tujuan membasmi sisa-sisa tentara jepang yang ada berlindung di Benteng Rotterdam. Dipihak lain Samratulangi sebagai gubernur Sulawesi harus bertindak cepat, ia kemudian mendatangi La Mappanyukki di istananya dan segera mengumpulkan raja-raja lainnya.
Hasil pertemuan raja-raja tersebut menghasilkan dokumen kesepakatan dan kemudian dokumen tersebut diserahkan kepada pimpinan NICA di Makassar. Inti dokumen itu, bahwa seluruh raja-raja Sulawesi mendukung Samratulangi sebagai gubernur Sulawesi dan bernaung di bawah NKRI.
Mayor Wagner selaku komandan NICA di Makassar menanggapi dokumen tersebut, dan ia mengatakan, bahwa Belanda tidak berurusan dengan hal itu, karena tujuan mereka hanya membantu soal administrasi. Namun, apa yang terjadi, ternyata Belanda berbohong, Samratulangi selaku gubernur Sulawesi dibuang ke Irian Jaya.
Sebagaimana diketahui, Sejak Soekarno membakar semangat raja-raja Bugis untuk bersatu, sejumlah organisasi nasionalis terbentuk seperti halnya Laskar Pemberontak Rakyat Indonseia Sulawesi (LAPRIS) yang dibentuk tanggal 17 Juli 1946. Di bawah Lapris berdiri sub-sub pergerakan antara lain, Kris, Kris Muda, Harimau Indonesia, Lipan Bajeng, Pemuda Merah Putih, Soekarno Muda, Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI), dan masih banyak yang lain. Semua pergerakan itu dipelopori raja-raja Bugis yang mendapat dukungan dari pusat.
Tujuan LAPRIS antara lain, 1)menghambat pergerakan musuh, 2)membasmi mata-mata dan kaki tangan NICA, 3)merampas senjata musuh, 4)melakukan penghadangan terhadap NICA. Sehingga sejak LAPRIS terbentuk, Belanda banyak mengalami kerugian termasuk korban jiwa. Marak terjadi penghadangan dan pembunuhan tentara NICA jika sedang patroli.
Akibatnya, pada tanggal 11 Desember 1946, Van Mook Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan wilayah Sulawesi Selatan dalam keadaan darurat perang. Kemudian Van Mook mengirim Reymond Westerling dengan membawa 120 tentara intelejen yang professional melakukan aksi pembersihan di Sulawesi Selatan.
Reymond Westerling seorang tentara yang tangguh dan tidak mengenal belas kasihan, jika pihak musuh tidak mau menyerah dan tetap bertahan, tidak segan-segan melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal. Pada Februari 1947 terkumpul sekitar 40.000 mayat rakyat sipil Sulawesi Selatan yang tidak tahu apa-apa. Dengan kejadian tragis itu, terpaksa para pejuang menyerah pada tanggal 3 Juli 1947.
Selanjutnya para pemimpin pergerakan LAPRIS yang masih hidup ditangkapi dan dibuang ke Ternate. Sebagian yang masih hidup akhirnya dibebaskan pada tahun 1950 setelah Soekarno menandatangani Koneferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).
Sementara itu, raja Bone terakhir La Pabbenteng Petta Lawa naik takhta 1946 atas keputusan NICA. Sebelum jadi raja La Pabbenteng berbaikan dengan NICA, kerapkali dijadikan sebagai simbolis agar tentara NICA aman dalam perjalanan darat. Bahkan La Pabbenteng karena prestasi kemiliterannya digelar sebagai “Kapten Tituler” dan setelah naik takhta pangkatnya dinaikkan menjadi “Kolonel Tituler”
Kemudian pada tanggal 12 November 1948, Gubernur Jenderal Belanda di Makassar melimpahkan posisi kepada La Pabbenteng menjadi Ketua Adat Tinggi. Itulah sejarah panjang kerajaan Bone yang dirintis sejak 1330 oleh Manurungnge harus berakhir tahun 1950. Demikian pula Ade’ Pitu pun bubar sudah.
Kerajaan Bone dalam Integrasi NKRI
Rakyat Sulawesi sebagian tidak menerima hasil Konferensi Meja Bundar, karena Soekarno menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Karena itu, otomatis mengubah konsep negara kesatuan dan Makassar menjadi ibukota. Sebagian besar tokoh yang menolak hasil perjanjian itu mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah pusat.
Banyak pejuang yang awalnya pro-indonesia menjadi pembelot. Kahar Muzakkar memprakarsai pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Kemudia PRRI Permesta digagas oleh tokoh revolusioner 1945. Kemudian disusul pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Selanjutnya RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan kembali menjadi Republik Indonesia.
Namun, pada era 1950-1959 kondisi Sulawesi Selatan masih terus bergejolak. Hutan dan perbukitan, lembah dan ngarai menjadi basis pertahanan para pemberontak yang amat sulit ditembus, dan baru mereda memasuki dekade 1970-an.
Memasuki era perdamaian, masyarakat Bone kembali terkonsentrasi pada pemerintahan sudah mulai tertata, perekonomian dan pembangunan lainnya berjalan. Para saudagar Bugis Bone kembali melakukan aktivitasnya di Pelabuhan Bajoe. Sebagian besar petani Bugis masih mengikuti komoditas pasar yang dirintis pedagang Cina, yaitu korpra (kaloko). Budidaya kelautan mulai digalakkan. Pendidikan mulai merata, kampus-kampus mulai berdiri dikemudian hari.
Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi, pada tanggal 4 Juli 1959 pembentukan Kabupaten Bone akhirnya disahkan di Jakarta. Demikian Bone menjadi sebuah kabupaten dengan luas 4.559 km² yang tahun 2015 terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa, 44 kelurahan, yang dihuni 738.515 jiwa dengan ibukota Watampone.
Itulah perjalanan panjang terbentuknya kabupaten Bone yang sesungguhnya berasal dari suatu bentuk integrasi kerajaan besar yang banyak melahirkan pejuang mendunia yang banyak menyimpan sejarah panjang dan misteri selama 685 tahun lalu.
(MURSALIM)
Sumber : www.telukbone.com
Sumber : www.telukbone.com