Bugis merupakan salah satu etnis yang ada di Sulawesi selatan. orang-orang beretnis Bugis terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Karakter mereka yang pemberani, pekerja keras membuat mereka untuk tidak takut keluar dari daerah sendiri.
Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang kini menjadi orang-orang besar sebut saja misalnya, Jenderal Muhammad Yusuf, B.J. Habibie, Muh. Jusuf Kalla, dan masih banyak lagi yang lain. Namun di antara orang-orang tersebut, ada beberapa tokoh yang namanya belum terlalu dikenal dan patut diketahui, dikarenakan perannya yang begitu besar bagi daerah dan Bangsa.
Berikut Tokoh Bugis Yang Paling Berpengaruh di Dunia :
1. YUSUF AL-MAKASSARI (Ulama, penyebar ajaran Islam. Pahlawan Nasional Afrika Selatan)
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa,Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 dan meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (” tuan guru penyelamat kita dari Gowa” ) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa,Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 dan meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (” tuan guru penyelamat kita dari Gowa” ) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.
Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.
Ketika Kesultanan Gowa mengalami kalah perang terhadap Belanda, Syekh Yusuf pindah ke Banten dan diangkat menjadi mufti di sana. Pada periode ini Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan agama Islam, dan Syekh Yusuf memiliki murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim Ibnu Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.
2. COLLI’ PUJIE (Penyalin Naskah Epos La-Galigo, dan Naskah Kuno Lainnya)
Colli Pujié atau lengkapnya Retna Kencana Colli’ Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru ke-9, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang).
Colli Pujié atau lengkapnya Retna Kencana Colli’ Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru ke-9, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang).
Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colli’ Pujié mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin-mawin di tanah Bugis.
Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujié. Mungkin saja beliau tidak dikenal sampai sekarang kalau saja, ia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno I La Galigo yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia.
Colliq Pujié-lah yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos I La Galigo yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh B.F. Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang.
Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colli’ Pujié, sehingga riwayat hidup Colli’ Pujié sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan B.F. Mathes. Colli’ Pujié bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi. Colli’ Pujié juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.
Seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Nurhayati Rahman dalam bukunya “Retna Kencana Colli’ Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman” menyayangkan bahwa Colli’ Pujié kurang mendapat tempat di hati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colli’ Pujié adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan.
Bahkan Dr. Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris mengatakan bahwa, “ terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colli’ Pujié dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos I La Galigo sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Salah satu karya sastra Colli’ Pujié berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang berjudul “Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan” telah diterjemahkan dan ditransliterasi oleh H.A. Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading. Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, di mana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin. Pantun Bugis dalam buku ini adalah ungkapan curahan hati seorang Colli’ Pujié.
Salah satu bait dari 122 bait pantun dalam buku ini sebagai berikut :
Salah satu bait dari 122 bait pantun dalam buku ini sebagai berikut :
Ininnawakku muwita,
Mauni natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.
Mauni natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.
(Lihatlah keadaan batinku,
Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)
Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)
Colli’ Pujié juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul La Toa diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II.
Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colli’ Pujié adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colli’ Pujié telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis di mata orang Eropa pada abad ke-19. B.F. Mathes berkali kali menyebut nama Colli’ Pujié sebagai bangsawan Bugis ratu yang benar- benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).
Tentang I La Galigo, menurut R.A. Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan bahwa epos I La Galigo adalah karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia setara dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani. Menurut Sirtjof Koolhof pada pengantar buku I La Galigo terbitan Djambatan, naskah I La Galigo terdiri dari 300.000 larik/ bait sementara Mahabrata hanya kurang lebih 200.000 bait.
Sebagai informasi, di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, tersimpan 4.049 naskah lontara Bugis dan Makassar yang semuanya sudah di microfilm-kan, terdiri dari lontara paseng (pesan), attoriolong (petuah orang dulu), akkalaibinengeng (sex education), kutika (ramalan/ astrologi), tasauf dan ilmu agama, tata cara bercocok tanam, lontara Baddili Lompo (pengetahuan persenjataan dan strategi perang), pengobatan tradisional, tabiat binatang dan arsitektur dan beberapa penggalan kisah dalam epos I La Galigo.
Sangat disayangkan bahwa minat mahasiswa sangat kurang untuk meneliti naskah lontara Bugis dan Makassar. Malah banyak peneliti asing dari berbagai negara yang meneliti produk budaya Bugis dan Makassar yang berupa naskah kuno lontara.
Mungkin untuk mengkaji lebih dalam tentang kehidupan Colli’ Pujié seseorang harus ke Belanda karena disanalah segala informasi yang terekam yang tersimpan, tentang sosok Colli’ Pujié yang mengagumkan.
3. ARUNG PALAKKA (Raja Bone Yang Paling ditakuti Belanda)
Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun. Adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar.
Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun. Adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar.
Arung Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad lamanya. Namun pada akhirnya Arung Palakka menjadi musuh bebuyutan yang paling ditakuti Belanda. Ia juga diberi gelar penghargaan sebagai Pahlawan Kemanusiaan.
Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To’ Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sri Sultan Sa’aduddin, mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat adalah La Tenritata To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin.
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak dari pasangan La Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu Mario ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone.
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan lama dan keduanya bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We Tan ri Pau Adda Sange Datu ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II, Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni, Adatuwang Sidenreng.
Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo Muhammad.
Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo Muhammad.
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama pengikutnya menghindar dari hegemoni Sultan Hasanuddin.
Ketika La Tenri Tata baru berusia 11 tahun, Bone dibawah pemerintahan kakeknya, La Tenri Ruwa. Saat itu Bone diserang dan ditaklukkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya. Peristiwa tersebut disebut Beta ri Pasempe (Kekalahan di Pasempe) karena perang Bone-Gowa berlangsung di Pasempe (1646), sebuah kampung kecil dalam wilayah Bone (sekarang Desa Pasempe wilayah kecamatan Palakka Kabupaten Bone) yang dipilih La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan. Ketika mulai dewasa, La Tenritata dikawinkanlah dengan I Mangkawani Daeng Talele.
Pasca Perang Pasempe, Sebanyak 10.000 orang Bone digiring ke Gowa untuk dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng-benteng Makassar. La Tenritata bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengngE’ ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana penderitaan dan penyiksaan yang dialami rakyat Bone. La Tenri Tata menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa orang Bone jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan. Orang Bone diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian parit untuk pembangunan benteng tersebut.
Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah tentang Batavia pada masa silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian menggelegar tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ia menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiro, Palette dan Palakka di Bone dan Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670. Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa’aduddin, 3 November 1672.
4. PETTA LOLO LASINRANG (Pahlawan Nasional, Pendekar Bugis, Penentang Kolonial Belanda)
Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan daripamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.
Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.
Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.
La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.
La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, Binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya.
La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”
5. RAJA LAMURU (Sultan Selangor, Malaysia yang Pertama)
Raja Lumu (Sultan Sallehuddin Shah ibni Almarhum Daeng Chelak; 1705–1778) adalah Sultan Selangor yang pertama. Ia merupakan putra dari pangeran pejuang asal Bugis yang terkenal Daeng Chelak. Ia mengambil gelar Sultan Sallehuddin dari Selangor pada tahun 1742. Orang Bugis sudah mulai menetap di pantai Barat Semenanjung Malaya pada akhir abad ke 17.
Raja Lumu (Sultan Sallehuddin Shah ibni Almarhum Daeng Chelak; 1705–1778) adalah Sultan Selangor yang pertama. Ia merupakan putra dari pangeran pejuang asal Bugis yang terkenal Daeng Chelak. Ia mengambil gelar Sultan Sallehuddin dari Selangor pada tahun 1742. Orang Bugis sudah mulai menetap di pantai Barat Semenanjung Malaya pada akhir abad ke 17.
Setelah Raja Lumuru, dua orang Kepala suku Bugis lainnya menetap di daerah Selangor: Raja Tua di Klang dan Daeng Kemboja di Linggi, selatan Lukut. Raja Lumu awalnya menghadapi oposisi dari Sultan Perak dan Johor, juga dari Belanda, tapi akhirnya berhasil mengkonsolidasikan posisinya sebagai pendaulat. Pada 1770, legitimasinya diperkuat dengan menikah dengan keponakan Sultan Perak.
Yang terakhir, Sultan Muhammad “yang diinvestasikan Salehuddin dengan lambang kerajaan Melayu dan juga menghadiri upacara penobatan berikutnya di Selangor”. Untuk aliansi ini, ia segera menambahkan lagi, dengan menikahkan putrinya sendiri untuk Sultan Kedah, yang berada di paling utara di Barat Kesultanan Melayu.
Sumber :www.telukbone.or.id
Sumber :www.telukbone.or.id