Meong Palo BolongngE

Posted by AndiEwha

Hasil gambar untuk kucing hitam”Ketika meong palo bolongnge bermukim di Tempe dan menetap di Wage, ia terjamin kebutuhannya dimana ia bebas makan ikan sepuasnya tanpa diusik oleh tuan rumah. Setelah ia tidak disenangi oleh Dewata ia lalu terbuang di Enrekang dan terdampar di Maiwa. Di sana ia tidak teratur lagi makannya. Ia akhirnya terpaksa mencuri seekor ikan ceppek (sejenis mujair). Yang punya ikan lalu memukulnya dan menyiksanya dengan berbagai cara.


Melihat meong palo bolongnge sangat tersiksa maka We Tunek (Datu Sangiasseri) ibah jiwanya, pilu perasaannya dan merasa tidak terjamin kemanannya jika tetap tinggal di Maiwa karena hanya kucing yang diharapkan dapat menjaganya, sedangkan tuan rumah sangat membencinya. Karena itu Datu Sangiasseri mengajak semua jenis padi untuk bengkit dan pergi mencari ’sifat-sifat yang baik’ (pangampe madeceng) yaitu orang yang ’sabar berpasrah diri terhadap sesama manusia, laki-laki yang jujur, wanita yang dermawan, mengantar orang yang bepergian, menjemput orang yang datang, memberi makan orang yang lapar, memberi minuman orang yang haus, memberi sarung orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang terdampar, menerima orang yang dibenci, menerima orang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh sesama manusia’.
Sebelum Datu Sangiasseri dan pengikut-pengikutnya meninggalkan Maiwa mereka singgah di rumah Matoa, Sulewatang Maiwa. Di rumah itu mereka menemukan ayah dan ibu menyumpah-nyumpahi anaknya, teman-temannnya, dan berkelahi suami istri.
Setelah mereka meninggalkan Maiwa mereka menuju ke Soppeng. Mereka singgah di rumah Matoa, petani Langkemme dan menemukan Matoa petani tersebut menyinggung perasaan teman-temannya, dibencinya orang yang di rumahnya, dan disakitinya orang sekampungnya.
Dari Langkemme mereka menuju ke Kessi dan langsung naik ke rumah Matoa petani yang berkuasa di Kessi. Kebetulan mereka menemukan istri yang berkelahi dengan suaminya.
Mereka meninggalkan rumah Matoa Kessi dan naik di rumah sebelah timurnya. Mereka tidak menemukan pelita yang menyala. Datu Sangiasseri meraba tempayang dan tidak menemukan setitik pun air dan juga tidak ditemukannya api di dapur. Orang di rumah itu kerjanya hanya tidur melulu. Keadaan ini tidak disukai oleh Datu Sangiasseri karena itu mereka meninggalkan Kessi menuju ke Watu.
Mereka naik ke rumah Matoa Watu. Meong palo bolongnge memuncak rasa lapar dan dahaganya. Ia diusir dan disepak sampai terlempar dan jatuh di depan Datu Sangiasseri. Tambahan lagi istri yang punya rumah mengangkat padinya dengan marah-marah dan berhamburan tanpa tunduk memungutnya. Karena itu Datu Sangiasseri mengajak teman-temannya untuk turun dan meninggalkan Watu.
Mereka akhirnya sampai di Lisu dan singgah di rumah Matoa Lisu. Mereka menemukan orang Lisu sedang makan dan minum berjaga menghadapi bibit padinya (maddoja bine), ditemukannya istri petani sangat pelit membagi nasinya (masekkek inanre) kepada keluarga dan sekampungnya yang berkumpul di rumah itu, karena itu Datu Sangiasseri memutuskan untuk pergi dan mencari sifat-sifat yang terpuji. Mereka singgah di rumah Sullewatang Lisu dan ditemukannya mereka sedang bertengkar sekeluarga, dibencinya serumahnya, dan cemburu hati terhadap sesama manusia.
Datu Sangiasseri selanjutnya mengajak teman-temannya turun dan berangkat mencari orang yang sesuai dengan harapan mereka yaitu ’orang yang sabar, pengasih dan pemurah, merendah diri terhadap teman-temannya, keluarga dan sekampungnya, jujur dan hemat, sabar dan rajin’.
Datu Sangiasseri dan teman-temannya menuju ke Berru dan akhirnya sampai di depan rumah Matoa Berru disaat bertutur kata yang baik istri Pabbicara di Berru. Mereka sesia sekata di dalam rumah. Istri Pabbicara Berru sekeluarga menjemput sambil menyembah kepada Datu Sangiasseri dan teman-teman dan mengajaknya naik ke rumahnya. We Datu tampak menjelma dan kelihatan oleh manusia. Lalu dicucikan kakinya dan dipersilakan duduk. Datu Sangiasseri diharapkan memberi kehidupan manusia di bumi yang sudah lama haus dan lapar sejak diringgalkan oleh Datu Sangiasseri.
Tidak lama setelah tibanya Datu Sangiasseri dan teman-taman, berdatanganlah penduduk Berru naik dan menyembah tak henti-hentinya di hadapan We Datu. Mereka menjamu Datu Sangiasseri dan teman-temannya dengan aneka macam makanan. Datu Sangiasseri berkata : ’dengarlah baik-baik istri Pabbicara semua orang banyak penduduk Berru, apabila kau kekalkan sifat-sifat baikmu, kata-kata yang tidak bertentangan didalam kampung menerima orang yang kesusahan, menampung orang yang terbuang, menerima orang yang dibenci disertai belas kasihan, menampung orang yang terbuang, itulah yang aku senangi’. Sembah sujud dan berkata istri Pabbicara : ’........apa kehendak We Datu itulah yang saya ikuti, karena engkau maha pengasih, ......’.
Setelah Datu Sangiasseri memberikan berbagai macam nasehat kepada istri Pabbicara dan penduduk Berru mereka lalu melanjutkan perjalanannya menuju (naik) ke langit. Datu Sangiasseri sembah sujud dan berkata : ’Sebabnya La Puang kunaik di Rua Lette, aku tidak menyukai perbuatannya, tak suka sifat-sifatnya orang di dunia. Aku disepa-sepak burung pipit diisap langau, dilejit oleh tikus. Mereka tidak lagi menjaga aku. Juga tidak berpantang lagi, tidak seia sekata orang di dalam dunia, orang di dalam kampung’.
Setelah Datu Sangiasseri mengadukan semua perlakuan yang tidak disukainya di dunia dan berulang-ulang kali dibujuk oleh Opu Batara Luwu akhirnya berhasil juga Opu Batara Luwu membujuknya untuk kembali turun ke dunia memberi kehidupan orang bumi. Menjawab dan berkata Datu Sangiasseri : ’Biarlah aku turun kembali dan yang kupilih untuk tinggali adalah yang sesuai dengan kata hatiku, orang yang jujur dan tidak pelit terhadap sesama manusia, menghargai wisesa, menaikkan Sangiasseri’.
Ketika Datu Sangiasseri turun kembali ke bumi ia memilih kampung Berru sebab memang telah siap Pabbicara Berru sekeluarga menunggu kembalinya Datu Sangiasseri. Berkata Datu Sangiasseri : ’Mudah-mudahan abadilah hati baikmu demikian pula semua sesamamu, karena sifat penyayangmu, menerima orang yang terbuang, menampung orang yang kesusahan supaya tidak kemana-mana mencari sifat-sifat yang baik, terbuang dan terdampar di tempat yang jauh sampai akhirnya aku tiba di Berru’.
Selanjutnya Datu Sangiasseri memberikan nasehat kepada istri Pabbicara : ’Jangan sekali-kali engkau tak menghidupkan api di dapurmu, juga jangan kosongi periukmu, begitu pula tempat berasmu, juga jangan kosongi tempayangmu, kamu hidupkan pelita pada malam jumat. Jangan mengambil bukan milikmu, jangan melanggar pantangan Wisesa sebab akan habislah aku dimakan ulat, dimakan langau, dipatuk-patuk burung pipit, dimakan oleh tikus, dibelit aku ular, tak dapat lagi aku hadir (berhasil), jangan bertengkar di subuh hari dan pagi hari. Apabila engkau sekalian istri-istri di Berru mendengar semua nasehat, menjauhi semua larangan, pantangan Wisesa, mudah-mudahan engkau beruntung, besar tak terhalang, hidup menyebarkan keturunan semua bibit yang kau tanam. Jangan berselisih paham sekeluarga dan sekampung sebab aku terkaget-kaget. Demikianlah moga-moga engkau pengasih, seia sekata sesisi kampung. Sampaikanlah dan nasehatilah pula semua penduduk Berru’. 
Sembah sujud berkata istri Pabbicara : ’.........akan kuusahakan menghindari semua laranganmu, menjauhi semua pemalimu karena rasa pengasihmu mau menetap di Berru sampai bersama mati, bersama ke akhirat We Datu’.
Salama temmarullena nasalama punnae surek, nasalama to mokkik-e kasikna, nasalama (selamat sejahtera, selamat yang punya surek. (Naskah). 
Selamat pula orang yang menulisnya, kasihan dan selamat”.