- Konon kabarnya, pada suatu waktu ada seorang puteri raja di Luwu yang ditimpa penyakit kulit (masala uli). Dia anak tunggal lagi anappattola. Ayah-bundanya menjadi susah karena musibah yang puterinya. Berdatanganlah semua sanro dan tabib, tetapi jangankan ada perubahan dari penyakitnya malah hidung orang banyak tak tertahankan bau amis lagi pula lainnya bau busuknya.
- Dipersingkat kata, dipercepat cerita, maka berhimpunlah Adat Luwu bersama rakyat disebabkan orang di Luwu takut ditulari penyakit seperti itu. Dia hendak dibunuh tapi tidak boleh sebab dia adalah keluarga yang tak boleh didurhakai lagi pula maddara-takku’, berdarah mulia. Oleh karena itu, amat susahlah orang di Luwu.
- Terjadilah pada suatu waktu, orang Luwu berhimpun, sampai di Palopo sana, berbatas di Baibunta sana, terdengar juga mereka yang di Bulu’ polo. Adapun yang disetujui bersama ialah sepakat untuk membawa diri mereka naik ke Mappajunge’ buat menghadapkan persetujuan yang telah disepakati oleh mereka yaitu yang mana kiranya yang dihargai oleh beliau, telur sebutir atau telur orang banyak.
- Dipersingkat cerita, cerita nan elok, cerita nan indah. Dusta dikatakan, lebih dusta lagi yang mendengarkannya. Sebab sudah jelas dusta yang diceritakan, diiyakan juga semuanya. Cepat larinya rusa, tangkas penunggang kuda. Lari hai rusa, tangkap hai jerat.
- Tibalah waktu berhimpun orang di Luwu; sampai di Palopo sini, batasnya di Baibunta sana, terdengar beritanya di Bulu’polo. Sama berpikir hendak membawa diri mereka menghadap ketakkuasaan dan rasa takut mereka ditulari penyakit itu (dipergunakan kata maja’ uli). Setelah merka berada di atas, semuanya duduk dan tunduk di hadapan Mappajunge.
- Dipersingkat kata, dipercepat cerita, maka bertitahlah Mappajunge. Apakah hajat kalian Adat Luwu bersama dengan orang banyak?’ Adat Luwu sama berucap: ”Tiada lain hajat penting yang kami bawa menghadap raja kami selain selain hendak menyampaikan rasa takut kami demikian juga takut ditulari penyakit yang menimpa puteri Raja kami. Adapun kesepakatan dan persetujuan kami ialah mana kiranya Tuan inginkan, telur yang sebutir ataukah telur yang banyak.Dipersingkat cerita, dipercepat cerita. Sekiranya Tuan menginginkan telur yang sebutir, maka berkehendaklah rakyat (atanna) Mappajunge mallekke’ dapureng, berpindah orang di Luwu sampai di Palopo sini, batasnya Baibunta sana, tempat diterima beritanya di Bulu polo sana. Akan tetapi sekiranya Tuan masih tetap mencintai telur yang banyak, baiklah kiranya jika puteri Raja kami yang malasa kumpinge (berpenyakit infeksi pada kulit) itu dijauhkan.”Kubenarkan kata kalian orang di Luwu,” jawab Raja. ”Lebih kuhargai orang banyak dari pada orang yang satu. Bukankah janjiku dahulu, janji yang kita sepakati bersama, yang disaksikan oleh Topabbare’ bareede’ (yang maha memelihara) bahwa meskipun anakku, isteriku, sekiranya kalian mencelanya, akupun tak menyukainya. Tetapi betapakah pendapat kalian?”
- ”Kubenarkan kata kalian orang di Luwu,” jawab Raja. ”Lebih kuhargai orang banyak dari pada orang yang satu. Bukankah janjiku dahulu, janji yang kita sepakati bersama, yang disaksikan oleh Topabbare’ bareede’ (yang maha memelihara) bahwa meskipun anakku, isteriku, sekiranya kalian mencelanya, akupun tak menyukainya. Tetapi betapakah pendapat kalian?”
- Serentak berucaplah Adat Luwu, ”syukur alhamdulil-Lah sebab Mappajunge ternyata mengikuti kesepakatan orang banyak. Kalau demikian titah Baginda, kami pikir, tuan puteri sebaiknya dibuang. Sebab hendak dialirkan darahnya, hal tersebut tak diadatkan di tane’ di Luwu.” Kata dilangkahi, cerita dipercepat, Baginda pun menjawab: ”Kuteguhkan apa yang kalian telah setujui.”
- Dilangkahi lagi kata, dipercepat lagi cerita. Kembali lagi berhimpun Adat Luwu bersama orang banyak. Mereka membuat rakit besar bagi puteri Rajanya. Setelelah rampung, merka pun bersama-sama naik memberitahukan Baginda.
- Ketika mereka berada di hadapan Baginda, bertitahlah beliau kepada puterinya. “Kumpulkan semuanya hai anakku, barangmu yang telah kuserahkan menjadi milikmu. Ambil juga semua sahayamu yang engkau senangi untuk menyertaimu. Pergilah ke rakit membawa nasibmu. Betapa besar cintaku inginkan kita hidup bersama-sama tetapi negeri dan rakyat Luwu tak mengizinkannya disebabkan penyakitmu ketika itu.”
- Sang puteripun mengumpulkan Inannyumparenna (ibu penyusunya), pattarana’na (yang memelihara dan menjaganya), semua sahayanya; dikumpulkannya pula semua barang yang telah dimilikinya kepadanya. Segala-galanya telah siap, lalu dia pun serombongan turun ke rakit. Diantar oleh ayah-bunda Rajanya, Adat, anak-anak Raja, putera-putera mahkota dan orang banyak.
- Tali tambat rakitpun ditetas dan semuanya sudah berada di atas rakit. Sama merangkuh rakit ke tempat yang dalam, dihanyutkan oleh arus sungai. Empat puluh hari, empat puluh malam, mereka hanyut tak tentu tempat tujuannya. Hanyalah nasib yang telah menentukan meskipun mata tak bisa terpejam karena memikirkan suratan takdir dari yang Maha memelihara yang mesti diterima di dunia ini. Matahari pun bersinar dari atas gunung. Sinarnya berpendar-pendar lembut terang-temerang. Dan Allah memperlihatkan kekuasaanNya; saatnya telah tiba. Rakit sudah berada di sungai yang agak sempit. Sahayanya lalu sama-sama turun, menghela rakit mencapai tepian. Merekapun naik ke darat. Perempuan naik membenah, sedangkan laki-laki sama pergi mencari tanah tempat berumah. Tampaknya, negeri ini bukan lagi wilayah Luwu. Mereka lalu menemukan pohon besar. Di dekatnya ada sungai-sungai yang tak kering. Mereka lalu berembuk dan semua laki-laki meikir-mikirkan. Akhirnya sepakat untuk membangun rumah yang patut buat puteri Rajanya. Setelah rumah rampung dibangun maka turunlah mereka ke rakit untuk memberitahukan puteri Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka buat. Tuan puteri mendengarkan kata para sahayanya, termasuk juga mereka yang diambilnya sebagai orang tua, sambil berkata, “Apa yang telah menjadi kesepakatan kalian, itu pulalah yang kudengarkan dan kuteguhkan.” Lalu merekapun sama kembali lagi lalu membangun rumah buat masing-masing mereka.
- Disingkat kata . . . . . . . . semua laki-laki tadi sama pergilah mpukke tana (membuka atau mengolah lahan). Ada yang berladang jagung, ada pula yang bersawah, juga ada yang menanam keladi, pisang dan sayur-mayur. Itulah yang dikerjakan oleh kaum laki-laki. Adapun yang dikerjakan oleh kaum perempuan, diwaktu tanaman suami mereka telah berhasil sepertiSangiangseri (padi) merekalah yang mengetamnya lalu dibawakan kepada Rajanya. Demikianlah kelakuan sahayanya, laki-laki dan perempuan.
- Pada suatu waktu, mereka membawa padi dan jagung, menjemurnya di depan rumah Rajanya. Bila pagi telah datang, laki-laki dan perempuan berangkat, juga orang-orang tua dan anak-anak semuanya. Mereka pergi berangkat mencari rezki di dalam hutan dan di lahan. Jikalau mereka semuanya telah lepas berangkat maka Tuan puteripun yang berpenyakit kulit itu pergi pula menjemur padi. Begitulah kelakuan sahaya dan sang Raja setiap harinya.
- Terjadilah pada suatu waktu, ketika sang Puteri turun ke tanah hendak membenahi padi yang ada di depan rumahnya. Tiba-tiba dia melihat seekor tedong mpuleng (kerbau balar) sedang berada di dekat onggokan padi. Diapun pergi menghalaunya tetapi dia sendiri hendak diseruduknya, bahkan dikejar kian-kemari sampai Tuan puteri terjatuh. Maka datanglah sang kerbau tadi menjilat seluruh dahinya sampai sekujur tubuhnya. Kemudian sang kerbau balik kembali masuk hutan. Anak Rajapun bangkit berdiri dengan penuh lumuran air liur sang kerbau. Lalu dia pergi mandi di sungai yang ada di dekat rumahnya. Selesai mandi, diapun naik ke rumahnya sambil memikirkan nasibnya takdir dari Tuhan yang Kuasa. Dia lalu mengambil cermin dan berkaca memperhatikan dahinya bekas jilatan kerbau. Diperhatikan wajahnya, dan dilihatnya sudah ada perubahan; demikian pula perubahan pada tubuhnya. Dia pergi ke tempat tidurnya membaring-baringkan dirinya, lalu terlena sampai tertidur. Ketika dia terjaga, diapun menyaksikan dirinya. Penyakitnya telah berubah. Semua sahayanya yang sedang gembira kembali dari pekerjaan, bertambah bersuka cita menyaksikan puteri Rajanya. Demikian itu kerjanya setiap hari. Jikalau pagi telah datang, diapun turun ke tanah, menjemur padinya, dan sang kerbau datang pula menjilat sekujur tubuhnya sampai kulit Tuan puteri pulih kembali keaadannya seperti semula dia dijadikan oleh Allah Ta’ala.
- Dialihkan cerita, dipindahkan pada cerita yang lain. Konon kabarnya pada suatu waktu puteraArumpone (Raja Bone) hendak pergi berburu. Maka dikumpulkanlah semua anregurupakkannyarenge (guru penunggang kuda) bersama mereka yang gagah perkasa. Keberangkatannya telah disiapkan dengan pengiringnya, para penunggang kudanya. Lantas guru penunggang kuda naik menghaturkan kepada Arumpone. Kemudian Baginda bertitah kepada pakalawingepue (pembawa puan) supaya pergi menyampaikan Putera Mahkota agar berangkat besok pagi menuju ke Awampone berburu rusa.
- Pada keesokan harinya, Putera mahkotapun berangkat diiringi oleh para penunggang kudanya dan mereka yang gagah perkasa. Tujuh hari, tujuh malam dalam perjalanan. Bekal sudah habis, rasa laparpun mulai timbul. Beliau merasa iba melihat semua orangnya sedang menanggung lapar. Dia lalu menyuruh supaya pergi mencari makan sebab terasa sangat lapar. Orang banyak membagi diri terpencar-pencar ke segala arah buat mencari makanan. Ada yang menyusuri sungai Walanae ke bawah; ada yang tetap mengikuti sungai itu, ada pula yang menyeberanginya di bagian sebelah bawah. Yang terakhir inilah yang menampak asap di kejauhan. Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Mereka ini terperanjat menyaksikan sejumlah rumah, dan sebuah rumah besar menandakan rumah raja. Segala tanaman menjadi di situ.
- Ketika yang disuruh tadi tiba maka sekonyong-konyong tertangkap matanya pada tuan Raja Puteri. Hati berdebar menyaksikan kecantikannya. ”Apa gerangan hajatmu,” kata tuan Puteri yang empunya rumah; ”Orang dari mana kamu, mengapa kalian kelihatan gugup memandang saya.” ”Sembah Tuan,” jawab yang di suruh, ”Kami dari Bone, disuruh oleh putera Arumpone pergi mencari makanan sebab dalam perjalanan berburu, bekal telah habis, sehingga kamilah yang disuruh mencari makanan.”
- Berkatalah yang empunya rumah kepada pattudang (protokol) supaya pergi memasakkan putera Arumpone. Pattudang bangkit; beras diambilnya, juga ayam disuruh dipotong. Gadis-gadis bangsawan datang semuanya. Bersama pattudang mereka lalu memasak makanan yang akan diantar, dibekalkan pada pesuruh putera Arumpone.
- ”Terimalah makan ini,” kata Raja Puteri kepada suro (pesuruh). ”Bawakan putera Rajamu dan sampaikan kepada beliau bahwa tidak yang lain dapat kubekalkan kecuali hanya sekedar ini saja, nasi dan lauk pauknya serta beberapa buah telur. Sebab kamipun disini adalah orang terdampar dari Luwu. Hanyalah teman-teman saya yang bercocok tanam sehingga adalah yang dimakan.”
- Adapun suro amat tertarik pada sikap yang manis lagi menyenangkan itu, ditingkah pula keindahan tutur kata yang tak terlukiskan.
- Tiga orang suro tadi mengatur sembah momohon izin sambil berangkat pulang memikul bawaan. Setelah mereka tiba, maka orang banyakpun sama terkejut termasuk putera Rajanya yang menyaksikan, disamping banyaknya juga dalam keadaan yang sangat berpatut. Tuan putera Raja menyuruh panggil yang membawa makanan tadi. ”Hai suro,” kata beliau, ”Dari mana gerangan engkau mencari makanan. Siapa kiranya orang yang demikian besar iba hatinya, memberikan makanan dengan lauk-pauknya, diatur dengan cara berpatut?”
- Dari awassalo Tuanku,” kata suro, ”Kami mencari makanan. Seorang gadis puteri Raja yang membekalkan. Konon beliau datang dari Luwu. Sembahku Tuanku, tiada pernah kulihat ada perempuan secantik dia. Ramah-tamah pada joa’na (rakyat pengikutnya), pandai mengumpul-menghimpun orang, madeceng kininnawai (baik budinya), lagi bijak bertutur kata. Banyak temannya dan juga lengkap peralatan semua laki-lakinya. Beliaulah yang mula membuka tanah, berumah di bawah pohon Bajoe.” Putera Raja mendengarkan semua kesan yang disampaikan, kemudian mereka makan bersama-sama.
- Selesai makan, berkatalah putera Arumpone; ”Pakailah masing-masing senjatamu dan siapkan semua kuda. Aku ingin mengunjungi Raja perempuan tersebut, yang datang dari Luwu itu. Dia yang begitu besar iba hatinya mengirimkan makanan kepada kita.”
- Semuanya sudah ada di atas kuda. Satu rombongan menuju Awassalo. Suro tadi dijadikanmata laleng (penunjuk jalan). Tiba-tiba mereka terkejut menampak sebuah rumah raja, dikelilingi rumah-rumah sahayanya, dialiri sungai-sungai yang tak kering. Ketika mereka tiba diambang perkampungan Raja perempuan, lalu rombongan turun dari kuda mereka. Putera Arumpone menyuruh naik memberi tahukan tentang kehadiran dirinya.
- Setelah suro tiba di atas, berkatalah pattudange; ”Suro dari mana engkau, apa gerangan hajat anda, siapa yang menyuruh?” ”Putera Arumpone yang menyuruh saya. Beliau sekarang berada di ambang rumah berhajat menemui Tuan Raja Puteri dari Luwu,” jawab suro. Maka berkatalah Inannyumparenna Raja yang empunya rumah, ”Bagaimana pendapat senngata(panggilan sederajat antara mereka yang berbakti kepada raja), sebab Raja seorang gadis (welangpelang). ”Tiada lain yang dihajatkan Puwakku (Rajaku) kecuali ingin naikmakkasuwiyang (bertemu dan berbakti) sebab beliau telah dikirimi makanan yang memberatkan perasaannya, yang juga dirasakan oleh rombongan dan sesama kami, jikalau tidak datang membawa diri ke hadapan Tuan Puteri Raja dari Luwu. Maka Inannumparengpun lalu masuk ke bilik memperkatakannya kepada anaknya. Berkatalah Puteri Rajanya; ”Jikalau demikian kesepakatan kalian, undanglah beliau naik dan ajak pula sesama lelaki yang telah kujadikan orang tua.”
- Tidak lama kemudian, hadirlah seluruh joa’na yang laki-laki dan mereka yang dijadikan orang tua. Lalu dijemput pulalah rombongan orang dari Bone naik di watampolae (rumah induk; tetamu yang diterima di rumah induk, adalah tamu yang dihormati). Sesudah itu, lalu disambut pula Putera Arumpone oleh pattudange, dibasuh kakinya dari cerek emas, diantar oleh Inannyumpareng, didudukkan di atas tikar permadani. Sambil duduk, mereka semua terheran-heran menyaksikan saniasa (keteraturan yang berpatutan), kelengkapan bagi perempuan, kelengkapan bagi kaum laki-laki.
- Kemudian masuk Inanyumpareng menjemput anak Rajanya. Beliau dihantar ke luar, dibimbing oleh pattudanna, makksuwiyang di hadapan putera Arumpone. Takjub mereka semuanya menyaksikan gerak langkah gemalai dan raut wajah yang mempesona. Setelah Tuan Puteri Raja duduk di atas tikar permadi, maka tersimbah perasaan, guncang hatinya putera Arumpone. Entah duduk, entah berdiri, duduk salah tegak pun salah. Terlenakah dia menyaksikan sebuah kecantikan yang mempesona. Lalu dia tak sadarkan diri lagi, gelap penglihatannya dan rebah jatuh di atas tikar permadani. Cepat pula Inannyumparengmelompat menerima kepala putera Arumpone. Secepat itu pula Tuan Puteri Raja minta air di mangkuk putih. Cepat juga pattudang membawakannya. Tuan Puteri membungkah sanggulnya dan rambut lepas terurai sudah. Dia lalu mencelupkan ujung rambutnya ke dalam air di mangkuk putih, lantas ditempiaskannya ke wajah putera Arumpone sampai dia sadarkan diri. Semua hadir takjub melihat kecantikan yang empunya rumah dalam keadaan rambut tebal terurai itu.
- Setelah sadarkan dirinya, bermohon dirilah dia berasama semua pengiringnya, siap berangkat kembali ke Bone. Begitu dia berada di tanah, dia pun menengadah ke langit sambil membisikkan hatinya. ”Ya Allah, telah tertambat hatiku. Jika benar aku seorang anak yang tak boleh didurhakai (toriabusungeng) dan jika membawa kebaikan bagi diriku serta kebaikan bagi orang banyak, tolong bentengi aku ya Allah, supaya dapat aku mempersunting Puteri dari Luwu ini. Tetapi jika sekiranya akan menjadi kebinasaan bagi diriku dan bagi orang banyak, tolong aku Ya Allah, hindarkan hati yang terpukau ini. Tiada kemauan yang jadi, iradatMu jualah yang berlaku.” Begitu selesai membisikkan hatinya, begitu dia melompat menunggang kudanya, dihantar, dikawal oleh para pengiringnya, keluar meninggalkan gerbang, melintasi sungai Walanae, menuju Atassalo. Tujuh hari, tujuh malam perjalanan ditempuh, baru mereka tiba di Bone, di rumahnya. Begitu beliau turun dari kudanya, langsung saja naik kesalassae (istana) dan segera masuk ke biliknya, membuka kelambu sambil merebahkan badannya, terus menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya menangis merindukan Tuan Puteri yang telah memikat hati dalam perjalanannya.
- Ketika waktu makan malam tiba, Arumpone lalu mencari puteranya sambil bertanya padaInannyumparenna. ” O Kino (nama yang biasa dipergunakan oleh raja untuk memanggilInannyumpareng) mana anakmu.” ”Sembahku, dia sedang tidur Puang,” jawabnya. ”Bangunkan dia, lalu ajak dia keluar makan,” perintah Raja. Dia dibangunkan namun tiada juga mau bangun melainkan hanya menangis. Kepada Raja disampaikan: ”Sembahku.” kataInannyumpareng, sejak dia kembali dari berburu, tak pernah dia bangun.” ”Sakit apa gerangan dia anakmu, Kino?” tanya lagi Raja. Dia tidak demam, tidak pula sakit kepala, yaPuang,” jawab Inannyumpareng. Maka bangkitlah Arumpone bersama permaisuri, masuk menjenguk puteranya. Sampai di dalam, beliau meraba kepala puteranya sambil berkata ayah-bundanya. ”O Baso,” (nama panggilan orang tua kepada anak laki-lakinya) ”Kenapa engkau demikian, apa sakitmu.” Namun si anak tetap saja menyelimuti kepala dan kakinya sambil air mata tertumpah dari rintihan bayangan rindu. Berkatalah ayahnya. ”Kalau-kalau ada orang yang mengganggu hatimu maka akan kuperangi negerinya. Bangunlah Baso mari kita keluar makan.” Keadaannya tak berubah, isak tangisnya terus juga, dan tetap menyelimuti seluruh badannya. Maka bersusah hati ayah-bundanya melihat keaadaan puteranya. Mereka inipun keluar makan, dan Arumpone menyuruh panggil Anreguru pakkannyarenge yang menyertai perjalanan Arummaloloe (Tuan Raja Muda). Dilangkahi kata, dipercepat cerita,anreguru pakkannyarenge telah hadir di hadapan Arumpone, dan diapun ditanya. ”HaiAnreguru, apa yang menyebabkan Arummalole terus saja menangis dan membungkus kepala dan kakinya dan tidak hendak bangun makan?”
- ”Sembahku,” kata Anreguru,” Tiada pengetahuan saya sebab setiba tadi dari berburu, dia tidak demam, tidak juga sakit kepalanya, tidak pula pernah jatuh dari kuda.” ”Kalau-kalau ada orang yang mengganggu perasaanya,” desak permaisuri. ”Dua kepala orang tak akan berani berbuat demikian atas diri Arummaloloe,”sambung Anreguru. ”Mungkin dia jatuh cinta pada anaknya orang, ataukah dia pernah melihat sesuatu yang tak biasa baginya lalu menawan hatinya tetapi malu mengatakannya?” desak lagi permaisuri. Maka mulailah Anreguru hendak menjelaskannya.
- ”Biarlah hamba dibunuh, hamba disembelih. Daunlah saya sedangkan Tuan angin. Paranglah saya, Tuanlah yang menetakkan. Hamba hendak menjelaskannya. Adapun Arummalolotidaklah demam, tidak sakit kepala tetapi memang dia sedang menanggung sesuatu di dalam hatinya.” . . . . . . . .(Berhubung karena sebagian besar yang dikemukakannya merupakan rekontruksi dari seluruh keadaan yang telah dialami mereka dalam perjalanan, maka yang demikian saya tinggalkan dalam terjemahan ini, kecuali jika terdapat butir-butir yang tak dapat dilalaikan). ” . . . . . Sesudah Arummalolo kembali sadarkan diri, sama takjublah kami semua menyaksikan lagi sebuah kecantikan yang mempesona dalam keadaan rambut Tuan Puteri lepas dari sanggulnya terurai panjang. Dipercepat cerita, kamipun dijamu kue-kue. Takjub kami menyaksikan cara dan sedianya. Demikian juga guru pattudanna, tentang caranya menghidangkan makanan. Aneka rupa macamnya kue sedang tidak kelihatan asap, sampai semuanya masak, demikian juga orang yang membuat kue. Arummalolo diaturkan jamuan di atas baki dari salaka (perak), cangkir tempat minum kopinya dari emas, sedangkan tempat kuenya dari bessikelling (nikel) semuanya ditata emas. Adapun tungkup bakinya adalah sutera berwarna kuning, . . . . . . .” Dipercepat cerita. Ketika Arummalolo menginjakkan kakinya di tanah, pandangan Tuan Puteri tak pernah lepas dari balik tellongeng sale (jendela bukan jendela utama) sampai keluar meninggalkan gerbang. Di sepanjang jalan hanya seperti jalan kenangan tidak satupun butir kata yang keluar dari mulutnya sampai kami semuanya tiba dan masing-masing kami turun dari kuda. Hanya butir-butir air mata tampak jatuh berderai yang dibawanya naik ke salassae. Dia langsung masuk ke biliknya, terus membuka kelambu, lalu merebahkan badannya sambil menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya inilah sembahku,” kataAnreguru menutup keterangannya.
- Dilangkahi kata, dipercepat cerita. Rupanya waktunya telah tiba. Nama harum Tuan Puteri Raja mulai hendak semerbak Kemudian berkatalah Arumpone kepada isterinya, ”Tahu aku akan caranya. O Tuan permaisuri, beritahu puteramu supaya tidak usah bersusah bergitu. Jikalau benar hatinya telah terpaut pada puteri Raja dari Luwu, kalau memang kasihnya timbul dari lubuk kalbunya yang bening mencintai puteri itu, maka akan kukirimkan duta. Kalu sampai dia menolak lamaran kita, biar kuperangi negerinya.” Masuklah indo Puwanna (ibunda rajanya) menuturkan kepada anaknya. ”E, Baso, bangun kemari ’Nak. Apa yang engkau rintihkan dan kesulitanmu. Sekiranya ada samamu anappattola (anak pewaris takhta kerajaan) yang menggoda hatimu, biarlah kita meminangnya, membuat sama tinggi tiang rumahnya. Sekiranya dia adalah tosama’mua (orang kebanyakan), biarlah kusuruh bunuh. Tapi jika memang kamu telah jatuh cinta, biarlah kami mengatur duta.” Demikian bujuk bundanya meyakinkan puteranya.
- Betapa senang hatinya mendengarkan kata ibunda rajanya, ibarat terasa madu yang dituangkan ke dalam lubuk hatinya. Lantas dia bangun membenahi pakaiannya sambil berkata: ”Bundaku, biar saya dibunuh dan disembelih, biar dibuang di kejauhan. Memang saya telah jatuh cinta pada Puteri Raja dari Luwu. Jika Bunda tak bersedia memahami hati yang diamuk cinta ini, biar kubunuh diri ini. Sebab tiada lagi artinya dunia bagi diriku. Kalau tak dapat kupetik dan kupersunting dia di dunia ini, biarlah jumpa kekasih di akhirat kelak.” Lalu dia kembali lagi membaringkan dirinya, menyelimuti kepala dan kakinya, merintih lagi dia. ”Tak usah engkau menurutkan susahmu itu. Biarkanlah aku menyampaikan kepada ambo’Puwanmu (Tuan Raja, ayahmu),” bujuk lagi indo’ Puwanna.
- Sesudah disampaikan keadaan anaknya, Arumpone lalu menyuruh Pakalawinngepu(pemangku puan) menjemput Qadi bersama Aruppitu (tujuh orang Raja sebagai Kepala Adat) Bone. Semuanyapun telah hadir di hadapan Arumpone. Baginda pun berkata: ”Kuminta kalian bertindak sebagai duta, berangkat meminang Raja puteri yang dari Luwu. Tetapi persenjatai diri kalian. Sekiranya lamaran diterima maka tetapkan saja hari jadinya dan segera balik ke Bone menyampaikannya. Tetapi jikalau natongkangi (mereka menolak) maka langsung saja angkat senjata lalu suruh beritakan kemari.”
- Segalanya telah lengkap.merekapun berangkat. Tujuh hutan ditembus, tujuh padang nan panjang dilewati, baru mereka tiba di sungai Walanae. Mereka menyeberangi Awassalo. Tiba-tiba sahaya Tuan puteri Raja menampak mereka. Segera dia berlari memberitahukan Rajanya. Gegerlah semua perempuan dan sekalian sahaya datang berkumpul, juga lelaki yang dijadikan orang tua. Disiapkan senjata dan tombak. Pintu gerbang disuruh jaga. Empat puluh pucuk senjata, empat puluh laras meriam. Masing-masing dikawal. Kemudian tiba pulalah Aruppitu bersama Qadi Bone serta orang banyak. Maka bertanyalah pengawal gerbang. ”Orang dari mana kalian?” yang dijawab, ”Kami mengiringi Aruppitu dan Qadi Bone.” Mereka diminta supaya menunggu sebentar. ”Senggata (sebutan bagi sesama sahaya) akan menyampaikan dahulu kepada Tuan puteri Raja.” ”Ada sejumlah orang yang datang. Mereka berkata, orang dari Bone. Dikatakan mereka bersama Aruppitu dan Qadi Bone, disuruh oleh Arumpone. Inilah yang menyebaban saya naik ke mari,” kata pengawal pintu gerbang. Tuan Raja Puteri pun menyuruh supaya mereka diundang masuk. ”Jikalau sudah takdirku tentu tidak bisa tak kulihat apa yang telah kuiyakan lahir ke dunia ini.”
- Pintu gerbang dibuka. Mereka yang datang sama masuk pula. Pattudang sama menanti, jugatau rialena (keluarga dekatnya) Tuan puteri Raja. Mereka menanti di tangga dengan cerek di tangan. Ketika tamu tiba di tangga, dibasuhlah kaki mereka oleh pattudange dari cerek salaka, langsung naik menghantarkan ammerakeng (tempat sirih). Sesudah Aruppitu dan Qadi makan sirih, bertanyalah mereka. ”O Kino, di manakah Tuan kita, Puteri Raja yang empunya rumah.” ”Beliau ada di dalam bilik,” jawab Inannyumpareng bersama para orang tua. ”Kepada siapa kiranya kami menyampaikan amanat yang disuruhkan Arumpone dan permaisuri?” tanya duta dari Bone. Kepada kamilah semuanya disampaikan amanat itu, pesan yang disuruhkan oleh tuan Raja!” Jawab Inannyumpareng bersama para orang tua.
- Maka berkatalah Aruppitu bersama Qadi. ”Kami membawa hajat dari jauh. Berhajat Arumpone mempersuami-isterikan Adatnya dan rakyatnya, mempertukarkan kerbau jantannya orang Bone dengan kerbau betinanya Luwu, yang ada berumah, membuka negeri, di bawah pohon Wajoe. Sekiranya orang Luwu tidak berkenan mempertukarkan kerbaunya dengan kerbaunya orang Bone, Arumpone inginkan orang Luwu suka membuat sama tinggi bentengnya dengan bubungan rumahnya!” Lalu sama berkatalah Inannyumpareng dan orang yang dipandang sebagai orang-tua kerajaan Luwu, ”Biarlah kami merembuk-rembukkannya lebih dahulu. Adapun yang telah kami sepakati bersama, itulah yang akan kami bawa kepada Tuan puteri Raja kami. Apalah nanti yang diinginkan beliau, itu pulalah yang akan kami sampaikan kepada Aruppitu bersama Qadinya Bone.
- Dilangkahi kata, dipercepat cerita. Berkumpullah semua orang yang datang dari Luwu. Semua perempuan, para gadis, para pemuda nappae mattapi (yang baru mulai memakai keris), bersama laki-laki yang tua-tua, sama-sama bertukar pikiran. Maka adapun yang disepakati bersama yaitu menyetujui untuk mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu. Lalu mereka semuanya pun naik menyampaikan kepada pueri Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka ambil. Maka berucaplah puteri Rajanya: ”Apa pun yang telah kalian sepakati, itu pulalah yang kudengarkan. Akan tetapi yang menjadi keberatan bagiku jika hendak riarekare (disia-siakan) dan riappanngadiyang (dimadu).” Para orang tuapun yang dari Luwu sama menyambut bahwa itulah juga yang akan menjadi keberatan yang akan disampaikan kepada mereka yang disuruh oleh Bone. Jikalau hal itu telah disyaratkan, lalu disetujuinya pula, kemudian dilanggarnya juga, maka itulah yang menyebabkan na-ala puebulo (terbelahnya bambu; maksudnya, menjadi gara-gara yang menimbulkan sengketa atau perang). Selesai itu, keluarlah Inannyumpareng dan para orang tua yang dari Luwu menghaturkan hasil permufakatan mereka termasuk syarat yang diajukan oleh Tuan puteri Rajanya.
- Berkatalah kepada Aruppitu dan Qadi Bone. ”Adapun yang telah menjadi kesepakatan kamisenngata (para abdi) dari Luwu, menyetujui mempertukarkan kerbau jantanya Bone dengan kerbau betinanya Luwu. ”Hanya ada satu ada-kipapolo (kata titipan atau pesanan).” Silahkan sampaikan kepada kami agar kami mendengarkannya supaya kami juga menyampaikan kepada Arumpone,” sambut duta. Maka berkatalah Inannyumpareng: ”Hanya yang menjadi keberatan kami riarekare-e dan riappaduwange (dimadu). Jikalau itu yang telah kami syaratkan, lalu sampai terjadi atas diri kami, maka itulah yang kami jadikan alasan puebulo.” Lalu dijawablah. ”Kami telah mendengar semua kata anda. Itu jugalah yang akan dihadapkan kepada Arumpone.” Lalu merekapun memohon diri, sedangkan sebelumnya, waktu pelaksanaan sudah ditetapkan juga.
- Mereka pun tiba kembali di Bone. Sama menghadap Arumpone. “Duta, bagaimana hasil perjalananmu,” sambut Arumpone bersama permaisuri. “Kami sudah kembali Puang. Apa yang diinginkan sama-sama disukai. Adalah berita baik yang kami bawakan Raja kami. Suka sama suka dan sama ingin mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau bertinanya Luwu. Hanya ada sesuatu ada maelo napapolo.” ”Apa gerangan kata itu? tanya Arumpone. ”Hanya yang menjadi syaratnya orang Luwu yaitu tidak mau disia-siakan demikian juga dimadu. Sebab mereka memandang diri, sebagai anappada (anak sederajat) dananappattola di Luwu.” Maka berkatalah Arumpone suami-isteri. ”Memang tidak boleh hai Aruppitu, saling menyia-nyiakan jikalau mereka sama-sama anappattola.” Sesudah itu, Arumpone menyuruh memberitakannya di Tana Bone, sampai kepada seluruh palili’na(kerajaan bawahannya) kepada keluarganya. Kemudian daripada itu maka beradatanganlah semua raja bawahannya Bone bersama keluarganya, dengan segala bawaan mereka, datangmassolo (mempersembahkan tanda ikut bergembira). Arumpone pun menetapkan hari keberangkatan mengarak puteranya pergi kawin. Segalanya sudah lengkap. Arumpone bersama isteri pun bertolak, diiringi Aruppitu, dan juga oleh orang banyak. Sesampainya di rumah Raja Puteri datang pulalah seluruh orang Luwu menjemput Arumpone bersama bakal Rajanya.
- Dilangkahi kata, dia pun dikawinkan risompa tosellitoni (mahar yang tertinggi yang hanya berlaku bagi anappattola Luwu). Lepas malam pantangannya maka siyadecengini (berbaiklah keduanya) pengantin baru. Arumpone bersama permaisuri pun disertai orang banyak, sama kembali pulalah ke Bone. Hanya yang tinggal ialah masing-masing sahaya Tuan Raja Muda, juga seyajinna (keluarga) mereka.
- Setelah itu, bersalinlah pengantin baru ini. Para sahayanya juga sama beranak, berpinak. Anak-pinak ini sama meninggalkan negerinya, pergi berkleompok-kelompok. Ada kelompok yang pergi mencari penghidupan dengan jalan menyadap tuak, melakukannya dengan carataro tenreng yaitu memasang tangga. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Talottenreng(kelompok yang berdiam di Talottenreng). Ada pula kelompok yang pergi mencari penghidupan dengan menangkap ikan dengan cara mattuw’tuwa’ bale yaitu dengan menggunakan tuba guna memabukkan ikan. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Tua’(kelompok yang berdiam di Tua’). Adapun kelompok lainnya yang pergi mencari penghidupannya dengan cara mabbang alliribola yaitu menebang kayu untuk dibuat tiang rumah, selanjutnya membangun rumah besar. Kelompok inilah yang disebut Bettempola.
- Adapun anak-anak yang lahir dari perkawinan puteri Mappajunge dengan putera Arumpone, masing-masing menjadi raja pada setiap kelompok tadi. Dia yang ke Talottenreng digelarlahArunge ri Talottenreng; yang ke Tua’ digelar Ranrenge ri Tua; sedangkan yang mendiamiBettempola, dialah yang digelar Petta Betteng. Tiga raja tersebut masing-masing mengangkatpassulle (wakil, misalnya juga sullewatang, artinya wakil pribadi), dengan gelar masing-masing sesuai dengan warna panji-panji mereka, yaitu: pilla warna merah; patola warna coklat kehijau-hijauan; dan cakkuridi warna kuning. Dengan tambahan tiga orang pejabat tersebut maka mereka lalu menjadi enam semuanya. Merekapun sama berkata satu dengan lainnya. “Kita berenam sudah sama dewasa dan besar, dan apabila terjadi perselisihan diantara kita, siapa lagi yang akan menasihati kita?” Mereka lalu bersepakat untuk menunjuk seorang yang digelar Arung Matowa (Raja yang dituakan, suatu jabatan Ketua Pemerintahan Wajo), sehingga mereka sudah merupakan Tujuh Besar Raja. Adapun tempat di mana terdapat rumah besar tadi, di bawah pohon Wajoe, itulah yang disebut Tana Wajo, atau Tosora.
Dikutip dari:
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Makassar: Lembaga Penerbitan Unhas.