Perbedaan Bissu, Passure' dan Pallontara'

Posted by AndiEwha
Hasil gambar untuk bissu bugis

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang Bugis dalam berkomunikasi antara sesama mereka. Bahasa Bugis merupakan bahasa yang paling besar jumlah pemakainya di Sulawesi Selatan, dengan berbagai varian dan dialek.


Bahasa Bugis tidak hanya digunakan di Sulawesi Selatan, tapi juga digunakan oleh orang-orang Bugis yang membangun perkampungan-perkampungan di rantau. Menurut Timothy and Barbara (1985:1), suku bangsa Bugis adalah suku bangsa yang paling banyak jumlahnya dan paling progresif di Sulawesi Selatan.


Pada masa lampau bahasa Bugis digunakan untuk semua kegiatan kebudayaan orang-orang Bugis, baik dalam aktivitas keagamaan, politik, pertanian, perdagangan, maupun dalam kesusastraan. Namun bersama dengan perubahan waktu, terutama setelah tanah Bugis dilebur menjadi bagian dari Indonesia, perlahan-lahan bahasa Bugis mulai tergeser, penggunaannya digantikan oleh bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pergaulan antara etnik di Nusantara.


Meskipun begitu, data bahasa Bugis masih melimpah dan terpelihara dengan baik, karena orang Bugis mengenal aksara yang lebih populer yaitu aksara lontara'. Melalui aksara lontara' itulah orang Bugis dapat mengabadikan berbagai ilmu dan kearifan masa lampaunya, termasuk dalam berbagai bentuk ekspresi kebudayaannya, khususnya di bidang sastra. Khusus bahasa Bugis yang digunakan dalam berbagai naskah lontara' dapat diklasifikasikan ke dalam empat macam, yaitu : 
Bahasa Bissu atau biasa juga disebut bahasa to ri langi' (bahasa orang di langit), bahasa yang digunakan di kalangan para bissu. 
Bahasa La Galigo, bahasa sastra yang digunakan dalam naskah-naskah La Galigo. 
Bahasa Lontara', bahasa yang digunakan dalam berbagai naskah lontara' 
Bahasa Umum, adalah bahasa Bugis yang dipakai oleh orang-orang Bugis secara umum dalam kehidupan sehari-hari. 


Bahasa bissu adalah bahasa yang digunakan oleh para bissu. Bissu adalah pemimpin upacara adat yang bersifat religius dan ritual. Mereka bertugas merawat dan mengatur alat-alat kerajaan dan benda-benda suci yang dikeramatkan. Penampilan seorang bissu mirip waria meskipun pada hakikatnya ia adalah lelaki atau wanita tulen. Menurut keyakinan orang-orang Bugis dahulu kala, dengan bersikap banci, mereka dianggap telah melepaskan diri dari kodrat mereka dan dengan sendirinya mereka telah terlepas dari tuntutan biologis terhadap lawan jenis mereka. Dengan demikian hubungan bissu dengan para dewa dianggap tidak akan pernah terputus.


Menurut Fachruddin Ambo Enre (1983:30), istilah Bissu mempunyai persamaan dengan istilah Biksu dalam agama Budha. Namun dalam perkembangan selanjutnya, bentuk perwujudannya berbeda dengan Biksu yang ada dalam agama Budha.


Para bissu mempunyai bahasa tersendiri di dalam berkomunikasi antar mereka. Bahasa mereka tidak dapat dipahami oleh orang-orang Bugis pada umumnya, karena penuh dengan simbol-simbol dan diperkaya oleh kosakata yang arkhais. Contoh pada naskah Paddangeng-Nrangeng:


Tudakko denra manningo, gojengnga' denra mallettung, tudakko mattule-tule, mattule-tule tinaju.

Artinya :


Aku membangunkan dewa yang tidur, aku membangunkan dewa yang berbaring, bangunlah duduk-duduk, duduk-duduk dengan tenang.


Pada contoh tersebut, terlihat bahwa hanya satu kata yang dapat dipahami orang Bugis pada umumnya, yaitu tudakko (duduklah engkau) selebihnya tak satu pun kosakatanya dapat dikenali sekarang, apalagi memahami makna yang terkandung di dalamnya.



Selain bahasa Bissu juga terdapat bahasa Galigo. Bahasa ini terdapat pada bahasa yang digunakan dalam epos La Galigo. La Galigo, adalah salah satu warisan sastra Bugis yang cukup terkenal. Berdasarkan ribuan halaman manuskripnya dan jalinan tokohnya yang kompleks, Kern (1935:1) dan Sirtjo Koolhof (1995:1) menempatkannya sebagai karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia melebihi Mahabarata dan Ramayana dari India dan sajak-sajak Homerus dari Yunani.



La Galigo diturunkan dalam 3 tradisi, yaitu 1) Tradisi tulis, 2) Tradisi lisan, 3) Upacara/konteks. La Galigo seperti yang ada di dalam berbagai manuskrip, diyakini oleh sebagaian orang Bugis sebagai kitab suci mereka sebelum menjadi Islam. La Galigo ditulis bukan untuk dibaca dalam hati tapi untuk didendangkan di muka publik. Pelisanan La Galigo itulah yang disebut massure'.



Bahasa La Galigo pada umumnya dapat dipahami oleh para bissu karena para bissu adalah pendeta agama tradisionil orang Bugis. Itulah sebabnya, para bissu juga dapat memahami arti dan fungsi La Galigo, tapi ia bukanlah penembang La Galigo. Para pembaca La Galigo yang lebih populer disebut Passure' biasanya bukanlah seorang bissu tapi orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan intelektual dan kecerdasan untuk membaca huruf-huruf tua yang terdapat di dalam naskah La Galigo. Di samping itu juga harus memiliki suara yang bagus.



Bahasa La Galigo adalah bahasa sastra yang digunakan dalam naskah-naskah La Galigo yang sebagaian besar kosakatanya juga tidak lagi dipahami oleh generasi Bugis sekarang. Oleh sebagian orang Bugis bahasa ini dianggap mempunyai nilai sakral yang dibacakan oleh para Passure' pada upacara-upacara ritual.



Sementara itu, bahasa yang digunakan dalam naskah lontara' adalah bahasa Bugis umum yang memiliki kosakata yang mengandung falsafah tinggi. Lontara' secara harpiah adalah daun lontar, namun bila ditempatkan dalam konstalasi kebudayaan Bugis yang memiliki banyak makna, diantaranya sebagai : 1) Sistem tulisan orang Bugis, 2) Sejarah dan silsilah orang Bugis, 3) Berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti lontara' kotika (astronomi), lontara' pabbura (pengobatan) dan sebagainya. Bahasa yang digunakan di dalamnya adalah bahasa Bugis umum yang memiliki falsafah hidup yang tinggi. Ia penuh dengan simbol-simbol dan falsafah hidup luhur, yang tidak semua orang dapat memahami maknanya. Orang yang ahli membaca dan memahami isi lontara' tersebut disebut Pallontara'.



Sedangkan bahasa Bugis umum adalah bahasa Bugis sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang Bugis sekarang ini. Hanya tentu saja telah mengalami perbedaan yang cukup signifikan seperti yang terdapat pada bahasa Bugis Galigo atau lontara'. Bahasa Bugis umum ini telah dipengaruhi oleh berbagai semangat zaman, terutama pengaruh bahasa dan budaya dari luar.







Oleh : Muhammad Tahir