Disuatu sore tepatnya diawal September 1660, Datu Mario sedang berjalan kaki pulang dari tempat penggalian menuju Bontoala. Pada hari itu semenjak dari pagi perasaannya selalu gelisah. Wajah ayah dan ibunya terbayang di matanya silih berganti. Begitupula bayangan isterinya I Mangawani Daeng Talele. Hatinya terasa pedih tersayat-sayat. Dia mempercepat ayunan langkahnya, semakin dekat Bontoala semakin dipercepat pula langkahnya.
Saat tiba di balai-balai rumahnya dilihatnya ibu dan isterinya sedang bertangis-tangisan. Perasaan khawatir dalam benaknya. Dia mendekat kepada kedua orang itu, kemudian bertanya : ” Ibunda Mengapa Engkau dan Menantumu Menangis? “
Sang Ibu merangkul leher Datu Mario lalu berkata : ” Tabahkanlah hatimu, Wahai Anakku, Sabarkanlah hatimu, dan Teguhkan jiwamu kepada Tuhan, Ayahmu sudah tidak ada Nak! Dia sudah pergi meninggalkan kita tengah hari tadi, Dia telah berpulang ke Rahmatullah”
“Jadi di mana mayat Ayah saya, Bunda? Apakah sudah dikuburkan sehingga tidak diperlihatkan kepadaku?”
Demikian ucapan Datu Mario bertanya dengan muka pucat. Datu We Tenrisui menoleh kepada menantunya dan berkata : ” Nak, kamulah yang menceritakan kakakmu, sebab aku tidak bisa ingat apalagi mengurut-urutkan peristiwanya “.
Berkatalah I Mangkawani daeng Talele Isteri Datu Mario, ” Wahai Kakanda berjanjilah dahulu untuk tidak melupakan Tuhan dan nabi-Nya, nabi kita Muhammad sallallahu Alaihi Wasallam, Berjanji pula Kakanda, Janganlah melakukan sesuatu apabila tidak direstui oleh orang tua kita”.
Datu Mario menjawab :” Aku menuruti semua kata-katamu, wahai Adindaku, ceritakanlah cepat karena aku ingin mengetahui di mana gerangan jasad ayahanda kita. Aku juga meminta kepadamu berdua, jangan ada yang menangis, sebab orang yang teguh imannya dan orang yang disebut bangsawan tidak akan menangis meskipun tertimpa musibah apapun”.
Datu We Tenrisui dan I mangkawani Daeng Talele membasuh air matanya. Rupanya Sang Ibu membenarkan ucapan anak lelaki semata wayangnya itu.
Isteri Datu Mario mulai berkisah, ” Ketika Kanda berangkat dipagi hari tadi menuju ke tempat galian, tak lama berselang kemudian datanglah utusan Karaeng Karunrung menyampaikan pesan kepada Ayahanda. Pesannya mengatakan Karaeng Somba memanggil tuan untuk ditemani pergi berburu di Tallo”.
Ayahanda kemudian melakukan melakukan persiapan dengan mengenakan pakaian yang paling disukai, semua cincin kesukaannya dipasang di jari-jari termasuk di jari kelingkingnya. Dia menyelipkan keris yang terbungkus perak berhulu emas bertata permata tiga biji. Ayahanda lalu berucap kepada Ibunda, ” Aku tidak ingin Karaeng Karunrung mengira aku sebagai rakyatnya”. Setelah itu Ayahanda pergi dengan menunggang kuda dan berjalan beriringan dengan Karaengta Karunrunng menuju tempat perburuan di sebelah Timur Tallo.
Menjelang Dhuhur, tiba-tiba datang Suro atau utusan Karaeng Karunrung memanggil kami pergi ke tempat perburuan. Sang Suro mengatakan, ” Petta Tanatengnga mendapat kecelakaan, baik kiranya bila Anda datang menjenguknya”.
Kamipun ikut dengan Suro itu menuju ke arah Timur Tallo. Ketika kami tiba langsung diantar menuju ke sebuah gubuk kecil. Di situlah kami mendapati Ayahanda Petta Tanatengnga sedang dibaringkan, tetapi nyawanya sudah tidak ada lagi. Ibunda kita sendiri yang mengusap matanya.
Sekujur tubuhnya penuh luka dan mukanya bengkak-bengkak. kami tidak tahu penyebabnya apa gerangan. Karena semua yang dikenakan waktu berangkat termasuk sarung, baju, keris, dan cincin yang melekat di tubuhnya semua masih utuh. Anggota tubuh lainnya masih tetap utuh hanya bagian muka yang memar namun Bunda masih dapat mengenali wajah suaminya.
Kami memohon kepada Karaeng ta Karunrung agar dia mau mengutus orang memanggil Kakanda di tempat penggalian, tetapi dia mengatakan tidak baik jasad orang mati di simpan berlama-lama, sebaiknya dikuburkan cepat. Masih beruntung karena masih dapat disaksikan oleh isterinya serta menantunya sebagai pengganti anaknya. Makanya jenazah cepat diurus untuk dimakamkan. Almarhum dikuburkan dekat dari sini.
” Siapa gerangan yang membunuh Ayahanda kita? tanya Datu Mario. Isterinya melanjutkan, Ketika Karaeng Somba sudah tiba di lokasi dengan menara pengintai, saat mau menaiki tangga tiba-tiba orang-orang menjadi ribut. katanya ada 2 orang Bone melarikan diri dari tempat galian dan bersembunyi di celah-celah batu tidak jauh dari baruga perburuan. Kedua orang itu ditemukan oleh anjing pemburu.
Awalnya para pemburu mengira yang digonggongi anjing adalah rusa, tetapi ketika pemburu tiba di tempat anjing menggonggong itu, ternyata ditemukan dua orang laki-laki yang sedang bersembunyi. Pemburu lalu memanggil orang banyak kemudian memukuli kedua orang yang bersembunyi itu. Kedua orang itupun keluar , tetapi ketika sampai di mulut celah batu dia melompat mengamuk dan menyerang para pemburu.
Beberapa orang berhasil dilukainya sebelum keduanya tertangkap lalu keduanya diikat tangan dibelakang kemudian dibawa ke baruga menghadap Karaeng Somba dan Karaeng Mabbicara Butta. tetapi keduanya tak henti-henti dipukuli diperjalanan, ada menempeleng, ada menendang, dan ada yang memukul kayu, sekujur tubuh hingga kepala dan wajahnya bengkak-bengkak, darah bercucuran dari kepalanya.
Pada saat sampai di depan baruga orang-orang berteriak dan berdesak-desakan untuk mendekat. Pasukan penombak dan para pengawal Karaeng Somba menghalau. Kemudian Karaeng Karunrung mendekat lalu berkata ” Siapa gerangan orang yang diikat itu?”. Ada orang yang menyahut mengatakan dia orang Bone Karaeng, ia melarikan diri dari tempat penggalian.
” Bukalah pengikatnya” perintah Karaeng Karunrung. Maka dibukalah pengikat kedua orang tersebut, namun tiba-tiba keduanya jatuh dan pingsang.Namun, Ayahanda yang berdiri di belakang Karaeng Karunrung secara tiba-tiba merebut tombak pengawal dan menyerang kepada orang yang memegang ikatan kedua orang yang ditangkap itu.. Sehingga orang yang kena tombak itupun langsung roboh dan meninggal seketika karena terkena tombak persis ulu hatinya.
Ayahanda beringas dan mengamuk, para pengawal kemudian maju untuk menangkap ayah dan ayahanda semakin marah, satu tangannya memegang tombak dan yang satunya memegang keris, banyak prajurit dan pengawal yang dilukainya. Beruntung para pengawal cepat-cepat melindungi dan membentengi Karaeng Karunrung karena Ayahanda sudah kalap, sekujur tubuhnya menjadi licin. Lebih dua puluh pengawal yang terbunuh seketika itu belum lagi yang luka-luka itupun beruntung kalau bisa hidup karena keris Ayahanda berbisa.
Ketika Ayahanda tertangkap oleh orang banyak, kedua tangannya lalu diikat. Ketika Ayahanda terikat di tiang orang-orang berdatangan menikamnya. Karena orang-orang tidak lagi mendengar ucapan Karaeng Somba dan Karaeng Tumabbicra Butta. Orang-orang baru berhenti menikam Ayahanda setelah Karaeng Karunrung berdiri disampingnya. Karaeng Karunrung sendiri yang mebuka tali pengikat Ayahanda, karena melihatnya sudah sekarat. Ketika ikatannya sudah dilepas roboh pulalah Ayahanda tersungkur ke tanah. Kemudian Karaeng Karunrung menyuruh pengawal yang masi hidup membawa mayat ayahanda ke gubuk.
Karaeng Karunrung perintahkan 10 orang prajurit menjaga jenazah Ayahanda agar tidak ada orang yang boleh masuk. menyentuh jasadnya selain isteri dan menantunya kalau sudah datang. Demikian cerita I Mangkawani Daeng Talele peristiwa kematian mertuanya.
Setelah mendengar cerita itu, tubuh Datu Mario kaku dan tidak bergerak sedikitpun, matanya tak pernah berkedip sekalipun sejak mendengar cerita isterinya. Mata terbuka menerawang lurus, dirinya bagai hilang kesadaran.
Datu We Tenrisuai khawatir melihat anaknya, lalu berkata ” Sadarlah Wahai Anakku itulah nasib kita yang sudah digariskan oleh Allah Yang Kuasa, Jangan sia-siakan nayawamu, Ingatlah hanya kamu berdua yang menjadi pewaris Mario dan Palakka, karena adikmu La tenrigira sudah meninggal, jadi hanyalah anak laki-laki Bunda yang menjadi pengharapan Palakka dapat terbebas dan setelah Palakka terbebas maka baru diurus Mario”
Datu Mario menjawab, ” Ibunda, anakmu ini tetap sadar, namun sekarang yang terpikir olehku, nasib Bone dan Mario sekarang diperbudak, maka akupun diperbudak, jika Bone merdeka maka barulah aku menjadi manusia sebenarnya,”.
Ibu, ” aku bersama orang Bone sebanyak sepuluh ribu orang bersama orang Soppeng diperlakukan seperti bukan manusia dipukul bagaikan kerbau mati. Perlakuan itu baru berkurang setelah aku mencekik seorang mandor dan membantingnya di atas pasir.”
“Semoga Tuan Matinroe ri papebbatunna terbangun dari kuburnya menyaksikan penderitaan kami di tempat penggalian, sehingga dapat membenarkan paman saya Arung Timurung yang diasingkan di Sanrangeng bermaksud menghapuskan perbudakan.”
Lanjut datu Mario kepada Ibunya, ” Aku kira ada Ulu Ada nenek saya Arungpone mula Islam Matinroe ri Bantaeng dengan Sultan Alauddin nenek karaeng Gowa yang memerintah sekarang ini?”
Ibunda datu Mario menjawab,” memang ada perjanjian Ulu Ada antara ayah saya Matinroe ri Bantaeng dengan neneknya Karaeng Gowa yang memerintah sekarang ini”
Bunyi perjanjian itu sebagai berikut :
1. Inilah kita persaksiakan kepada Dewata Yang Esa.
2. Nanti bila bukan lagi tuntunan kita yang bertakhta di Gowa dan Tallo dan begitu pula engkau di Bone barulah semuanya berakhir.
3. Apabila engkau diperlakukan tidak adil oleh sesama manusia, dan apabila engkau ditimpa keburukan, maka bukalah pintumu agar kami masuk dalam keburukanmu itu.
Begitulah ucapan Karaeng mula Islam di Gowa bersama pamannya, yaitu Karaeng Tallo bernama I Malingkaang Daeng manyonri pada waktu duduk bersama neneknya yang melahirkan saya. Perjanjian itu diucapkan di Pallette ketika membawa Islam kepada orang Bone.
Berkata pula nenekmu Matinroe ri Bantaeng ” O … Karaeng, padi saya tak jatuh, timba saya robek dan tak dimasukkan tikus di liang kubur saya, apabila ada orang yang menimpa tanah Gowa, meskipun hanya sebatang bambu saja aku tumpangi, maka aku datang pada kesusahanmu, wahae Karaeng sampai pada anak cucuku dan anak cucumu pula jika kami orang kecil tidak dihianati”. Begitulah janji nenekmu Matinroe ri Bantaeng dan neneknya karaeng yang sekarang ini.
Demikian ucapan Datu We tenrisuia kepada anaknya menjelaskan Uluada orang tuanya dengan Sultan Alauddin yang dilakukan pada tahun 1611.
Berkata Datu Mario, ” Ibunda, perjanjian Uluada itu sudah rusak ketika paman saya Arung Timurung menjadi mangkau ri Bone karena diserang oleh Matinroe ri Pepembatunna. Orang Bone ditaklukkan dan dijadikan hamba oleh Gowa. Kita semua sudah menjadi hamba serta tidak punya hak dan kehormatan, hanya kemauannya saja yang diberlakukan kepad orang Bone,”
Ia melanjutkan, ” orang Bone melakukan perlawanan yang dipimpin oleh paman saya Arungpone To Senrima akhirnya jatuhlah di Pasempe. Karaeng kemudian membenamkan dan menjadikan kita sebagai hamba. Jadi bukanlah nenek saya dan orang Bone yang merusak Uluada itu”.
” Benar apa yang engkau katakan itu wahai anakku, kata datu We Tenrisui kepada anaknya ” bukanlah kita yang merusak perjanjian Uluada itu, bukan pula kita yang meninggalkan ucapannya Karaeng Gowa Mula Islam, tetapi kitalah yang ditinggalkan Uluada itu,”
Berkatalah Datu Mario, ” Jika demikian, bukanlah kita ditimpa sumpah nenek saya apabila kita melepaskan diri dari himpitan ini” sang Ibu mengangguk membenarkan ucapan anaknya.
Sumber : www.telukbone.coi.id
Sumber : www.telukbone.coi.id